Perkenalan
Selama 46 tahun pelayanan, sebagian besar dalam penginjilan publik, saya memperhatikan beberapa metode menarik pembelajaran Alkitab. Misalnya, banyak orang secara tekun menyelidiki Alkitab, bukan untuk mencari kebenaran, tetapi sederhananya untuk mencari dukungan untuk pemikiran agama yang sudah mereka punya. Pikiran mereka tidak terbuka untuk diajar oleh Roh Kudus Tuhan, maka dari itu mereka dapat memanipulasi ayat-ayat kudus untuk ditafsirkan tepat seperti apa yang mereka ingin percayai.
Salah satu prinsip baik untuk belajar Alkitab adalah untuk mencari tahu kebenaran pada subyek apapun dari semua ayat dalam Alkitab. Adalah benar secara literal bahwa kita dapat membuktikan hampir semua yang mau kita buktikan dengan menggunakan sebuah ayat secara terisolasi dari Firman. Itulah kenapa begitu penting untuk menyatukan konsensus apa yang Musa, Daud, Yesus, Paulus dan penulis yang diinspirasi lainnya katakan mengenai subyek tersebut. Itu mungkin melibatkan seratus ayat atau lebih! Dan bahkan setelah itu dilakukan mungkin masih ada kebingungan, karena lima atau enam dari ratusan ayat tersebut terlihat bertentangan dengan yang lainnya.
Jadi apakah setengah lusin ayat yang terlihat seakan menyimpang itu dibuang karena mereka tidak selaras dengan yang lainnya? Tentu tidak. Mereka seharusnya dipelajari secara khusus dengan melihat konteks yang ada, dan juga dengan membandingkan dengan 95 ayat lainnya yang saling mendukung. Segera akan ditemukan bahwa kemenduaan itu hanya ada dalam pikiran, dan Alkitab sepenuhnya punya gambaran fokus sempurna dan persatuan.
Seseorang berkata bahwa sebuah ayat tanpa konteksnya adalah sebuah dalih, dan saya mempercayainya. Ini benar khususnya untuk beberapa ayat yang terlihat aneh yang telah menjadi batu sandungan bagi para pelajar Alkitab yang sungguh-sungguh. Akan tetapi dengan pembelajaran yang teliti ayat-ayat yang sekiranya bermasalah ini ditemukan selaras dengan yang lainnya dan juga semua catatan inspirasi. Karena ayat-ayat ini berhubungan dengan pola makan – salah satu topik populer dalam pikiran khalayak saat ini – kita harus mencoba menguraikan beberapa pertanyaan yang membingungkan yang muncul mengenai makanan-makanan yang dilarang dan hukum kesehatan Alkitabiah.
Keempat Firman yang harus kita periksa seakan bertentangan dengan puluhan deklarasi jelas lainnya yang tersebar pada semua perjanjian Lama dan Baru dalam subjek pola makan yang benar. Tetapi sebelum kita mulai, penting untuk mencatat beberapa poin petunjuk yang Tuhan telah berikan lewat tulisan hamba-hamba-Nya.
Keseluruhan pasal seperti Imamat 11 dan Ulangan 14, telah memberikan daftar detil kategori binatang yang tidak haram dan yang haram. Dan karena pola makan original kita yang diberikan oleh Tuhan tidak mengandung daging apapun (Kejadian 1:29), kita dapat yakin pasti bahwa tidak ada daging binatang haram dalam diet mereka yang hidup sebelum air bah dan mengikuti hukum Tuhan.
Setelah air bah, meskipun binatang tidak haram diperkenalkan bagi diet kedelapan orang yang selamat selama kehancuran universal semua tanaman, tidak ada binatang yang haram diperkenankan menjadi makanan. Tuhan memerintahkan pelestarian binatang-binatang tidak haram tujuh pasang dalam bahtera dan binatang haram sepasang (Kejadian 7:1-3). Tentunya, ini memberitahukan binatang yang tidak haram saja yang boleh dimakan, sementara binatang haram yang jantan dan betina hanya dibawa untuk memelihara kelangsungan spesies.
Secara bersamaan izin yang diberikan kepada manusia yang hidup setelah air bah untuk makan bahkan binatang tidak haram sekalipun menghasilkan fenomena yang menarik. Hampir seketika itu juga, usia ras manusia menurun tajam dari sekitar 800 tahun sampai sekitar 150 tahun saja.
Peristiwa air bah tersebut juga meruntuhkan argumen populer yang dipakai oleh mereka yang memaksakan untuk makan baik binatang tidak haram dan yang haram. Mereka menyatakan bahwa hukum mengenai larangan makan binatang haram hanya berlaku bagi bangsa Yahudi. Ini tidaklah benar, karena tidak ada orang Yahudi di zaman Nuh saat larangan tersebut ditetapkan oleh Tuhan sendiri pada semua ras manusia. Lebih jauh lagi Alkitab menyatakan bahwa hukum makan binatang haram masih tetap berlaku pada saat kedatangan kedua Yesus. (Yesaya 66:15-17).
Bukan Apa yang Masuk…
Tetapi sekarang mari kita lihat pada empat argumen terpopuler yang dipakai untuk mendukung makan daging binatang haram. Dalam Matius 15:11, kita temukan ayat yang mana pada saat dibaca pertama kali seakan mendukung argument tersebut. Yesus berkata, “bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”
Tanpa melihat konteksnya ayat ini seakan mengatakan bahwa kita bebas memakan apapun tanpa penghakiman atau keracunan. Tetapi saat kita pelajari keseluruhan pasal, kita akan menemukan bahwa itu tidak berhubungan sama sekali dengan pola makan. Dari ayat 2 kita dapat pelajari bahwa Yesus sedang berhadapan dengan kontroversi dari orang-orang Farisi, yang memaksakan agar murid-muridnya memberikan tangan mereka untuk upacara pembasuhan sebelum mereka makan. Tujuan pembasuhan ini adalah untuk membersihkan diri dari kenajisan orang bangsa lain atau hal lainnya. Kristus mengutuk kemunafikan tradisi mereka dalam ayat 3-10, menyatakan bahwa sia-sia mereka berbakti kepada-Nya dengan menaati hukum yang dibuat oleh manusia. Lalu barulah di ayat 11 Dia membuat pernyataan bahwa kenajisan datang dari apa yang keluar, bukan apa yang masuk.
Setelah itu Petrus berkata kepada Yesus, “Jelaskan perumpamaan itu kepada kami” (Matius 15:15). Pernyataan ini membuktikan agar perkataan Kristus jangan dianggap literal, karena perumpaan hanyalah sekedar cerita atau pernyataan untuk menggambarkan sebuah point. Perhatikan bagaimana Yesus menjelaskan makna ilustrasi-Nya: “Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang. Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat. Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang” (ayat 17-20).
Sekarang keseluruhan kisahnya mulai jelas. Yesus tahu bahwa para pemimpin agama ini punya kebencian dalam hati mereka kepada-Nya, dan perhatian besar mereka bukan pada sebuah kelakuan jahat, tetapi hanya sebuah tradisi bodoh yang berdasarkan prasangka. Kristus menyebut dosa dalam hati tersebut dengan namanya dan menyatakan: “Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.” Itulah makna perumpamaan-Nya. Itu tidak merujuk pada jenis makanan yang dimakan tetapi kepada upacara pembasuhan.
Beberapa bertanya-tanya oleh penambahan beberapa kata dalam catatan Markus dari peristiwa yang sama. Di sana Yesus dikutip saat berkata, “tiada dapat menajiskan dia. Karena itu bukannya masuk ke dalam hati, melainkan ke dalam perut, lalu keluar ke dalam jamban, dengan demikianlah membersihkan segala makanan itu?” (Markus 7:18,19 – Indonesia Terjemahan Lama).
Apakah ekspresi “dengan demikian membersihkan segala makanan itu” mengindikasikan bahwa semua yang dimasukkan dalam tubuh sebagai baik dan menyehatkan? Tentu tidak, sekali lagi Yesus sedang menyoroti fakta bahwa kenajisan yang sejati datang dari menyimpan kenajisan rohani dalam pikiran. Makanan fisik melewati proses pencernaan lalu dikeluarkan dari tubuh, sementara dosa tetap tinggal sebagai racun yang merasuk.
Dikuduskan oleh Doa?
Sekarang kita berpindah ke ayat lainnya yang secara mengerikan telah disalah tafsirkan oleh beberapa pembaca Alkitab. Paulus menulis kepada Timotius muda: Tetapi Roh dengan tegas mengatakan bahwa di waktu-waktu kemudian, ada orang yang akan murtad lalu mengikuti roh-roh penyesat dan ajaran setan-setan oleh tipu daya pendusta-pendusta yang hati nuraninya memakai cap mereka. Mereka itu melarang orang kawin, melarang orang makan makanan yang diciptakan Tuhan supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran. Karena semua yang diciptakan Tuhan itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Tuhan dan oleh doa” (1 Timotius 4:1-5).
Dengan secara berhati-hati melihat konteks perkataan ini, kita tidak akan menemukan hal apapun yang tidak selaras dengan keseluruhan Firman lainnya. Tampaknya beberapa kelompok di akhir zaman digambarkan dengan melarang pernikahan, penuh kemunafikan dan dikendalikan iblis. Sebagai tambahannya kelompok ini memerintahkan pengikutnya untuk tidak makan tentunya dari makanan yang tidak haram, “makanan yang diciptakan Tuhan supaya dengan pengucapan syukur dimakan oleh orang yang percaya dan yang telah mengenal kebenaran.”
Tujuan kita di sini bukanlah untuk menyelidiki identitas jahat si pemutar balik injil, tetapi untuk menyingkirkan pemikiran bahwa hanya dengan mendoakan makanan dapat membuat makanan itu baik untuk dimakan. Paulus menegaskan kembali bahwa apapun dalam barisan makanan dapat diterima asalkan lulus dua tes – itu harus disetujui (atau dikuduskan) oleh Firman Tuhan, dan itu haruslah didoakan sebagai ucapan syukur (ayat 5). Tolong dicatat bahwa kedua syarat ini harus dipenuhi agar makanan dapat sesuai menjadi diet umat Kristen.
Apakah ayat ini menyarankan bahwa tikus, kelelawar dan ular derik dapat dikuduskan untuk menjadi makanan hanya dengan mendoakannya? Tentu sebaliknya. Tidak ada yang dapat dilayakkan, kecuali itu telah disetujui Firman Tuhan sebagai tes pertama. Kalau Alkitab mengatakan itu tidaklah haram, barulah doa syukur dapat dipastikan menjadi tanda penerimaan dari Tuhan.
Binatang-binatang Merayap dan Menjalar
Mungkin dasar yang paling umum dipakai untuk meniadakan binatang-binatang haram adalah kisah Petrus dan penglihatan kain lebar turun dari surga. Akan tetapi dengan sedikit latar belakang kita dapat dengan jelas memahami makna sebenarnya dari penglihatan aneh Petrus.
Sebagai seorang Yahudi yang bertobat, Petrus masih memegang opini bahwa bangsa-bangsa lain adalah najis, karenanya tidak layak beroleh keselamatan. Dia tidak akan mengabarkan kepada mereka atau mempunyai interaksi sosial apapun dengan mereka.
Petrus menerima penglihatan tepat sebelum para utusan dari Kornelius yang mana adalah seorang perwira bangsa lain tiba di rumahnya di Yope. Tuhan telah memerintahkan Kornelius mengutus orang kepada Petrus, dan para utusannya secara praktis ada di depan rumah Petrus saat rasul setia tersebut mendapat penglihatan di atas rumah.
Dalam visi tersebut Petrus melihat sebuah kain lebar turun dari langit, dipenuhi berbagai macam binatang, burung-burung dan hewan merayap-menjalar lainnya. Tiga kali Petrus diundang untuk makan kumpulan makhluk menjijikkan itu, dan tiga kali dia menolak. Setiap kali sebuah suara menyatakan, “Apa yang dinyatakan halal oleh Tuhan, tidak boleh engkau nyatakan haram” (Kisah Para Rasul 10:15). Akhirnya kain lebar itu diangkat kembali ke langit dengan berbagai muatannya yang menggeliat.
Pada poin ini kita perlu membuat pengamatan penting. Tanggapan Petrus untuk panggilan agar makan tersebut mendirikan sebuah poin yang sangat penting. “Tidak, Tuhan, tidak, sebab aku belum pernah makan sesuatu yang haram dan yang tidak tahir” (Kisah Para Rasul 10:14). Ini membuktikan bahwa sepanjang tiga setengah tahun dia bersama dengan Yesus, Petrus belum pernah melihat atau mendengar apapun yang membuat dia menerima daging binatang haram. Dengan kata lain, Yesus tidak pernah merubah larangan untuk makan binatang haram, karena kalau Dia pernah melakukannya, Petrus tentunya mengetahui hal itu dan tidak akan menanggapinya demikian.
Kenyataannya dalam Kisah Para Rasul 10 menyatakan bahwa Petrus pada awalnya tidak memahami arti dari penglihatan membingungkan tersebut. Ayat 17 mengatakan bahwa “Petrus bertanya-tanya di dalam hatinya, apa kiranya arti penglihatan yang telah dilihatnya itu.” Sekali lagi ayat 19 mengatakan bahwa “Petrus sedang berpikir tentang penglihatan itu.”
Sementara dia mencoba mencari tahu, tiga orang yang diutus oleh Kornelius mengetuk pintu rumah Petrus. Dia lalu mendengarkan kesaksian mengenai penglihatan Kornelius, dan mempersilakan mereka bermalam. Keesokkan harinya Petrus kembali bersama mereka ke Kaisarea, di mana Kornelius telah mengumpulkan keluarga dan teman-temannya untuk menyambut Petrus.
Pokok utama keseluruhan narasi tersebut ditemukan pada ayat 28, di mana murid nelayan yang tertutup pandangannya tersebut menceritakan apa makna penglihatan itu. Dia mengungkapkan di hadapan kumpulan bangsa-bangsa lain perkataan ini: “Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir” (Kisah Para Rasul 10:28).
Di sini kita dengan jelas melihat bahwa Tuhan telah menggunakan penglihatan kain lebar tersebut untuk mengajarkan Petrus yang penuh prasangka agar dia tidak lagi menjauhkan diri dari bangsa-bangsa lain. Penglihatan tersebut tidaklah berhubungan dengan makanan atau minuman. Ini menyangkut sikap Petrus kepada orang-orang, bukan mengenai makanan.
Sungguh sebuah pelajaran dramatis bagi jemaat mula-mula! Dan itu adalah pelajaran yang perlu kita semua pelajari juga. Jadi saat ini, segeralah koreksi mereka yang mencoba mengaplikasikan penglihatan ini pada peniadaan binatang-binatang haram. Itu sebenarnya malah membuktikan hal sebaliknya, lalu menekankan dalam hati sebuah pelajaran penting untuk umat Kristen dimanapun – nilailah setiap pribadi sama berharganya di hadapan Tuhan, dan buatlah segala upaya untuk memenangkan orang tersebut pada Kristus.
Batu Sandungan Bagi yang Lemah
Ayat final yang perlu dipelajari sesuai konteksnya ditemukan pada Roma 14. Karena banyak pembaca telah mengangkat perkataan atau frasenya keluar dari latar belakang logisnya pada pasal ini, beberapa tafsiran yang dipaksakan telah dibuat.
Ada sebuah tema besar yang menjadi fokus pasal ini. Hampir setiap ayat berhubungan dengan topic menghakimi, sebuah masalah yang sangat berbahaya pada jemaat mula-mula, bahkan dalam gereja saat ini. Untuk dapat memahami nasehat yang diberikan oleh Paulus dalam Roma 14, kita pertama-tama harus mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam menghakimi dan masalah tentang apa penghakiman tersebut.
Ada dua grup utama dalam jemaat mula-mula – Orang Yahudi Kristen yang bertobat dari Yudaisme, dan orang Kristen bangsa-bangsa lain yang dimenangkan dari agama kafir. Kedua kelompok tersebut tidak begitu akrab. Mereka secara terus-menerus saling menghakimi. Sekarang mari kita perhatikan tentang apa perpecahan itu. Orang Kristen bangsa lain menghakimi orang Kristen Yahudi karena mereka makan daging yang telah dipersembahkan sebagai sajian bagi berhala. Bagi orang Kristen bangsa lain yang bertobat, makanan semacam itu tidak layak untuk dimakan. Meskipun mereka sekarang telah menjadi orang Kristen, mereka tidak dapat melupakan bagaimana dirinya dulu menyajikan makanan kepada berhala, dan dalam pikiran mereka memakan makanan semacam itu berhubungan dengan penyembahan berhala. Orang Yahudi Kristen di sisi lain tidak punya pikiran semacam itu, karena mereka selalu mengakui hanya ada satu Tuhan, dan secara alamiah tidak merasa bersalah makan makanan yang telah disajikan kepada berhala. Itu dijual di pasar dengan harga yang lebih murah, dan orang Kristen Yahudi menganggapnya sebuah potongan harga besar.
Sekarang mari kita baca beberapa ayat pertama dari Roma 14 mengenai seorang saudara yang lemah dalam iman. “Terimalah orang yang lemah imannya tanpa mempercakapkan pendapatnya. Yang seorang yakin, bahwa ia boleh makan segala jenis makanan, tetapi orang yang lemah imannya hanya makan sayur-sayuran saja. Siapa yang makan, janganlah menghina orang yang tidak makan, dan siapa yang tidak makan, janganlah menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menerima orang itu. Siapakah kamu, sehingga kamu menghakimi hamba orang lain?”(Roma 14:1-4).
Dapatkah kita dengan membandingkan dengan ayat yang lain menemukan seorang saudara yang lemah imannya? Dapatkah kita juga menemukan masalah dengan situasi “menghakimi”? Ya tentunya. Paulus harus membahasnya cukup panjang 1 Korintus 10 dan 1 Korintus 8. Perhatikan gambarannya: “Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: “tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Tuhan lain dari pada Tuhan yang esa… Tetapi tidak semua orang yang mempunyai pengetahuan itu. Ada orang, yang karena masih terus terikat pada berhala-berhala, makan daging itu sebagai daging persembahan berhala. Dan oleh karena hati nurani mereka lemah, hati nurani mereka itu dinodai olehnya… Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah” (1 Korintus 8:4-9).
Di sini kita dapati saudara yang lemah imannya dari Roma 14:1-3. Dia adalah orang Kristen bangsa lain yang merasa bahwa itu dosa untuk makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Paulus setuju dengan orang Yahudi yang bertobat bahwa tidak ada yang salah dengan makanannya, karena memang cuma ada satu Tuhan. Tetapi dia menasehati agar makanan tersebut tidak dimakan di hadapan orang percaya bangsa lain agar tidak menjadi batu sandungan bagi mereka. Bandingkan bahasa ini dengan nasehat Paulus dalam Roma 14:13: “Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung!”
Dalam 1 Korintus 8:11,12, Paulus menanyakan pertanyaan ini: “Dengan jalan demikian orang yang lemah, yaitu saudaramu, yang untuknya Kristus telah mati, menjadi binasa karena “pengetahuan” mu. Jika engkau secara demikian berdosa terhadap saudara-saudaramu dan melukai hati nurani mereka yang lemah, engkau pada hakekatnya berdosa terhadap Kristus.” Bandingkan pernyataan ini dengan Roma 14:15: “Janganlah engkau membinasakan saudaramu oleh karena makananmu, karena Kristus telah mati untuk dia.” Baca Juga Roma 14:21: “Baiklah engkau jangan makan daging atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu.”
Tentunya catatan dalam Roma 14 dan 1 Korintus 8 merujuk pada masalah yang sama. Bahasa yang identik dipakai untuk menggambarkannya, dan penghakiman yang sama juga terjadi menyangkut masalah tersebut.
Satu poin lagi yang perlu diperjelas. Daging yang dipertanyakan bukanlah “daging binatang haram” dalam nuansa Alkitabiah. Pertanyaannya hanya berkisah seputar “apa yang anggap” haram oleh orang Kristen bangsa lain karena itu telah dipersembahkan kepada berhala. Pada kenyataannya orang bangsa lain tidak menyajikan babi atau binatang haram lainnya dalam persembahan mereka, seperti dikatakan dalam Kisah Para Rasul 14:13. Jadi saat orang Kristen Yahudi membeli makanan yang telah disajikan kepada berhala tersebut, tidak ada yang salah dalam hal itu sendiri, seperti diungkapkan Paulus. Itu menjadi salah saat itu menjadi batu sandungan bagi “saudara yang lemah imannya” atau umat Kristen non Yahudi, yang menganggapnya haram karena berhubungan dengan berhala. Beberapa umat Kristen non Yahudi begitu kuat menentang hal itu sehingga mereka tidak makan daging sama sekali dan hanya makan sayuran, karena takut mereka mungkin akan makan daging yang telah dipersembahkan kepada berhala. Dalam Roma 14:1-3 Paulus menyatakan agar gereja di Roma menerima saudara tersebut dan menghormati pemikirannya. Ini bukanlah masalah moral dan tidak seharusnya dibiarkan memecah-belah jemaat.
Dengan memeriksa pertentangan yang tampak dalam Alkitab ini menyangkut diet, kita juga telah menemukan akar dari banyak kebingungan teologia dalam dunia agama saat ini. Sebuah pemahaman sederhana tentang situasi di balik penulisan akan memampukan kita untuk mencerna perkataan dan frasenya dalam format aslinya dan mengenali keselarasan yang indah dan kesatuan dalam Kitab-kitab Suci.
Daging Tidak Layak untuk Konsumsi Manusia
Renungkan fakta penting ini secara seksama. Kalau beberapa binatang diidentifikasi sebagai haram sebelum air bah; kalau mereka tetap dinilai haram saat Petrus menolaknya dalam penglihatannya, kalau mereka tetap disebut najis dalam Wahyu 18:2, dimana itu menyatakan tentang “burung najis,” dan kalau Yesaya menyatakan bahwa mereka yang makan babi dan binatang-binatang menjijikkan akan binasa pada saat kedatangan kedua (Yesaya 66:15-17), bagaimana kita bisa merasa mereka cocok untuk dimakan saat ini? Sejak kapan mereka jadi tidak haram?
Apakah Tuhan memiliki alasan melarang konsumsi beberapa jenis binatang sebagai makanan? Dia tidak pernah berlaku sewenang-wenang. Kita tidak memperoleh indikasi bahwa pelarangannya berdasarkan atas upacara atau terkait nubuatan dalam bayangan. Sejauh yang dapat kita lihat, semua kategori tersebut diklasifikasikan terlarang karena Tuhan ingin umat-Nya sehat dan bahagia. Sederhananya mereka tidak sesuai untuk dikonsumsi manusia, dan Tuhan mengatakan pada umat-Nya untuk tidak memakannya.
Kesimpulan ini dipastikan oleh penemuan pakar nutrisi modern yang telah mengidentifikasi banyak daging binatang haram mengandung banyak lemak jahat atau unsur penyakit. Di waktu lampau Tuhan menyatakan bahwa umat-Nya menghancurkan diri mereka sendiri karena tiada berpengetahuan (Hosea 4:16), dan menjanjikan kebebasan dari penyakit kalau mereka mengikuti hukum-Nya (Keluaran 15:26). Kenapa kita harus terus berlanjut dalam pemberontakan yang membawa kehancuran yang menandai jalan Israel di masa lalu.
Dia yang menciptakan tubuh kita juga telah memberikan buku petunjuk (manual) untuk pemeliharaan yang benar makhluk peka ini. Seperti halnya kemurtadan Israel sering melibatkan “makan dan minum” (Keluaran 31:5), demikian juga Israel modern Tuhan tersesat dalam pemanjaan yang sama. Ada alasan kuat untuk percaya bahwa Tuhan menganggap hukum kesehatan untuk pemeliharaan bait tubuh sama pentingnya dengan prinsip moral pada hukum yang tertulis.
Dua Ribu Babi Dibuang
Kita telah melihat bahwa Yesus tidak pernah mengkomunikasikan perubahan apapun dalam hukum kesehatan kepada Petrus dan para murid lainnya. Sekarang kita perlu menyelidiki sebuah kejadian dalam kehidupan Guru Besar itu yang akan menunjukkan dengan jelas apakah Dia memandang binatang haram sebagai makanan yang layak.
Tetapi pertama-tama, marilah kita periksa sebuah prinsip yang sering muncul dalam pelayanan Tuhan kita. Dia tidak pernah membuang-buang sesuatu. Pada kenyataannya, kita dapat setuju dengan seorang penulis yang menggambarkan Yesus sebagai “Tuhannya ekonomi.” Kita renungkan ulang bagaimana Dia memerintahkan pengumpulan kembali semua sisa makanan setelah selesai memberi makan kerumunan orang. Pada dua kesempatan, Kristus secara khusus memerintahkan agar tidak ada yang terbuang. Firman Tuhan bahkan menyatakan detil tepat jumlah keranjang makanan yang dikumpulkan dari mukjizat sebanyak 12 bakul dan 7 bakul (Lukas 9:17, Markus 8:20). Dengan prinsip yang kokoh ini dalam pikiran kita mengenai sikap Tuhan kita untuk menyimpan setiap potongan kecil makanan yang dapat dimakan, mohon perhatikan pengalaman-Nya dengan para penduduk Gerasa. Bersama murid-Nya, Yesus telah merapat dari sebuah perjalanan mengerikan menyebrangi sebuah laut yang liar dan mengamuk. Dalam keadaan yang penuh ketakutan dan putus asa para murid telah membangunkan Yesus dari tidur lelapnya di buritan saat kapal digoncang badai. Berdiri di tengah-tengah mereka, Kristus memerintahkan angin ribut itu untuk tenang, lalu tiba-tiba segera ada keteduhan.
Saat kapal tersebut sampai di pesisir sebrang, kelompok kecil itu berhadapan dengan sebuah ancaman bahkan yang lebih ganas. Orang gila telanjang yang kerasukan roh jahat keluar dari pekuburan seakan hendak menyerang mereka. Apa yang terjadi berikutnya adalah hal yang paling tidak biasa dalam catatan injil. Pada satu-satunya peristiwa dalam Firman Tuhan, Yesus berdialog singkat dengan roh jahat yang mengendalikan korban kerasukan tersebut. Saat sebuah legion dari roh jahat meminta untuk diizinkan masuk pada sebuah kerumunan babi dekat sana, Yesus mengabulkan permohonan tersebut. Sementara orang tanpa nama itu duduk dekat kaki Yesus sudah waras dan berpakaian, kerumunan 2.000 babi berlari menuju laut dan mati tenggelam di sana.
Banyak yang takjub atas hasil peristiwa yang luar biasa tersebut. Mengapa Yesus mengizinkan kebinasaan seluruh kerumunan binatang berharga tersebut? Apakah dia menyadari situasi yang berhubungan dengan pemiliknya dan pekerjaan mereka yang sangat bertentangan dengan hukum Yahudi sebagai peternak babi? Tampaknya demikian. Tapi satu hal yang pasti tanpa diragukan, Yesus tidak menganggap babi cocok untuk dimakan. Akankah Dia yang memerintahkan sisa-sisa makanan untuk dikumpulkan, membinasakan kerumunan babi yang cukup untuk memberi makan segerombolan pasukan kecil? Adalah mustahil mempercayai bahwa Juru Selamat kita yang pengasih akan mengizinkan sebuah sumber daya terbuang sia-sia yang mana dapat memberi makan orang kelaparan dan membutuhkan dimana-mana. Dari hal itu kita hanya dapat menyimpulkan Yesus tidak memandang binatang, yang Bapa-Nya telah nyatakan sebagai kejijikkan dapat diterima sebagai makanan.
Riset nutrisi belakangan ini diterbitkan bersamaan dengan rekomendasi dari agen kesehatan pemerintah, semakin banyak orang berpaling dari makan produk hewani. Hasil penelitian yang terakhir memastikan bagi kita bahwa orang-orang Amerika mengkonsumsi terlalu banyak lemak, dan terlalu sedikit buah dan sayuran. Adalah sangat menyemangati untuk melihat secara bertahap perubahan kebiasaan makan jutaan orang yang dipengaruhi entah oleh nasehat Alkitab akan diet yang benar ataupun arahan komisi pemerintahan tentang kesehatan.
Apakah bijak untuk melihat label dari semua makanan sebelum kita masukkan isinya dalam tubuh kita? Tentunya, kita akan menjadi orang yang paling bodoh untuk tidak memeriksa daftar komponen dalam produk-produk yang ada yang akan kita masukkan dalam perut kita. Seringkali kita menemukan beberapa binatang yang dilarang secara Alkitabiah dimanfaatkan dalam manufaktur beberapa produk makanan yang populer. Izinkan saya berbagi dengan Anda apa yang saya pelajari tentang komponen utama dari sebuah produk yang sangat terkenal.
Menyingkirkan Lemak Babi dan Kesombongan
Beberapa lama lalu saya membaca cerita mencengkeram perjalanan misi di antara suku primitif Papua Nugini.
Satu referensi yang diulang-ulangi sepanjang narasi itu memberikan kesan mendalam pada pikiran saya, dan itu adalah praktek aborigin mengoleskan lemak babi dan melumaskannya pada wajah untuk mempercantik diri.
Seorang anggota suku yang bangga dari Pasifik Selatan menyebut diri mereka sendiri “dewa bumi” dan pemakaian campuran kosmetik adalah sebuah tradisi turun-temurun dari budaya paganisme mereka.
Tetapi saya sekarang harus mengatakan kepada Anda kenapa budaya semacam itu memberikan pengaruh tersebut dalam pikiran saya. Sebelum membaca buku itu, saya baru saja menyelesaikan seri penginjilan di New Orleans, Louisiana. Salah satu anak muda yang dibaptiskan dalam seri tersebut telah dipekerjakan selama beberapa tahun di pabrik pengolahan setempat.
Dia membagikan beberapa fakta yang sangat menarik pada saya mengenai tugas khususnya di pabrik dan bagaimana produk tersebut akhirnya dipasarkan.
Setelah saya jelaskan bagaimana proses itu berjalan, Anda mungkin menghargai kelegaan yang dirasakan pria ini karena berhasil menemukan pekerjaan lain tepat sebelum seri saya dimulai.
Dalam percakapan saya dengannya, saya menemukan untuk pertama kalinya apa itu pabrik pengolahan. Itu adalah pusat pengumpulan untuk semua jenis bangkai hewan mati. Bangkai berbagai macam hewan diangkut ke pabrik setiap harinya. Beberapa adalah hewan liar yang terbunuh di jalanan, seperti sigung, hewan semacam tupai, dll. Suplai besar bangkai yang membusuk datang dari peternakan dimana penyakit telah masuk pada kerumunan babi, sapi, dan hewan ternak lainnya.
Di pabrik tersebut semua tubuh bangkai itu dimasukkan bersama-sama pada sebuah panci masak raksasa yang diberikan panas yang kuat. Setelah sebuah jangka waktu pemasakan, bangkai tersebut diberikan pada sebuah proses penekanan yang super kuat untuk mengekstrak lemak dari tulang, kulit, dll. Adalah lemak jadi yang merupakan produk akhir dari pabrik tersebut.
Menurut kesaksian teman saya, tidak ada orang yang dapat membayangkan bau amis mengerikan dari tumpukan bangkai hewan yang berpenyakit dan membusuk tersebut saat dimasak. Tetapi satu hal yang paling menarik bagi saya adalah cara bagaimana lemak hasil ekstraksi tersebut dimanfaatkan. Mayoritas produk tersebut dijual pada perusahaan pembuat lipstick dan makeup mata. Dia menyebutkan dua dari perusahaan kosmetik ternama di negara ini sebagai konsumen utama pabrik pengolahan tersebut. Setiap orang melihat gambaran elegan iklan perempuan glamor memakai lemak “berwarna-warni” pada wajah mereka tidak pernah menyangka asal sebenarnya pembuatan riasan mereka.
Apakah sungguh ada sebuah perbedaan besar antara program kecantikan suku Pasifik Selatan tersebut dengan orang modern yang “beradab”? Bukankah praktek keduanya didasari prinsip yang sama dari kesombongan manusia? Dalam satu kasus lemak babi tersebut telah dimurnikan, diwarnai dan secara benar diberi bahan pengharum, dan yang lain lebih dekat kepada alamiahnya dan dipakai tanpa dimurnikan.
Tetapi poin utama yang saya mau tekankan adalah bagaimana jutaan perempuan Kristen yang baik memakai campuran menjijikkan tersebut tanpa menyadari apa yang terkandung di dalamnya. Ini hanya satu contoh dari campuran yang sama yang telah menemukan jalannya masuk ke rumah-rumah dan tubuh jutaan orang tanpa disadari.
Tetap dalam analisa akhir, kita harus menolak pemanjaan makanan yang dilarang, bukan karena mereka tidak enak atau tidak menyehatkan, tetapi karena Tuhan mengatakan bahwa mereka tidak seharusnya dimasukkan dalam bait tubuh. Sekiranya prinsip Alkitabiah yang dikemukakan dalam buku ini membentuk dasar gaya hidup Kristen kita: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan” (1 Korintus 10:31).