Oleh: Dr. Tim Jennings
Winston Churchill berkata, “Tidak ada yang perlu ditakuti kecuali rasa takut itu sendiri.” Pernahkah Anda bertanya-tanya tentang pernyataan terkenal itu? Bayangkan diri Anda sedang berjalan pada sebuah balok dengan lebar empat inci ditempatkan dengan aman di tanah, kaki Anda hanya beberapa inci dari tanah. Sekarang bayangkan berjalan balok yang sama tetapi berada pada posisi 100 kaki di udara. Apakah kemampuan Anda untuk berhasil melewati balok akan terpengaruh secara negatif saat Anda melihat ke bawah pada ketinggian seperti itu? Apa yang berubah? Adanya rasa Takut!
Pada saat kita merasa takut, sirkuit rasa takut pada otak (amigdala) diaktifkan, disertai dengan adanya lonjakan zat kimia penyebab stress pada tubuh (adrenalin dan glukokortikoid). Pada saat merasa tertekan, kita akan mengalami respons klasik “fight or flight” di mana darah dialirkan dari organ internal ke otot dan glukosa dialirkan ke aliran darah. Hal ini terjadi agar tubuh kita bereaksi dengan cepat dalam menghadapi ancaman eksternal, seperti rumah yang terbakar. Namun, ketakutan kronis, seperti takut gagal, takut ditolak, takut pada apa yang dipikirkan orang lain, takut pada kehancuran finansial, dan kekhawatiran kronis apa pun dapat membuat sirkuit ketakutan pada otak tetap menyala, menyebabkan aktifnya sistem imun tubuh secara terus-menerus dan meningkatkan faktor peradangan pada tubuh yang dapat membahayakan tubuh kita. Pada kondisi ketakutan kronis, rasa khawatir dan stress dapat meningkatkan faktor peradangan yang dapat merusak reseptor insulin pada tubuh sehingga terjadinya peningkatan risiko diabetes melitus, obesitas, kolesterol tinggi, serangan jantung dan stroke.
Rasa takut kronis juga dapat mengganggu semua jenis pertumbuhan. Sebuah studi baru-baru ini mendokumentasikan bahwa anak-anak Irak yang tumbuh di zona perang secara tinggi badannya lebih pendek daripada anak-anak Irak yang tumbuh di zona aman pedesaan. Ketakutan dapat mengganggu pertumbuhan fisik! [I]
Mungkin anda mengenal seseorang yang sering merasa cemas dan takut pada ujian sekolah, atau seseorang yang membeku ketika berdiri di depan banyak orang. Apa yang terjadi? Sirkuit rasa takut mereka meledak, melumpuhkan korteks prefrontal mereka (sirkuit berpikir). Pertumbuhan intelektual dan kognitif terganggu ketika kita takut.
Ketika ada suatu hal yang membuat kita sangat takut, seperti mencium bau asap dan mendengar orang berteriak “api!” di tempat pertunjukan, kemana fokus kita terarah? Apakah Anda lebih peduli pada orang asing di sekitar anda atau lebih peduli untuk menyelamatkan diri Anda sendiri? Ketika kita merasa lebih takut, kita menjadi lebih fokus pada diri sendiri. Rasa takut merusak pertumbuhan relasi dan sosial!
Ketika kita percaya konsep Tuhan yang menyebabkan rasa takut, kemampuan untuk bertumbuh secara spiritual terganggu. Korteks Prefrontal adalah bagian dari otak kita yang berlokasi tepat di belakang dahi, bagian otak tempat kita berpikir, membuat perencanaan, mengorganisir, pusat fokus, pusat konsentrasi, dan bagian otak yang mengatur kita untuk dapat menahan diri. Korteks prefrontal adalah tempat hati nurani, mengarahkan perilaku yang tidak pantas, dan lokasi otak yang aktif pada saat kita beribadah. Bagian khusus dari korteks frontal, yang disebut anterior cingulate cortex (ACC) adalah “jantung” pada sIstem saraf kita. Di sinilah kita merasakan rasa cinta dan empati. ACC juga merupakan lokasi otak yang mengatur kehendak, di mana kita dapat memilih yang benar atau salah. Kitab Amsal berkata, “Sebagaimana manusia berpikir dalam hatinya, demikianlah dia” (Amsal 23: 7), hal ini mengacu pada ACC.
Hebatnya, penelitian tentang otak telah menunjukkan bahwa orang yang berusia 60-65 tahun yang merenungkan Tuhan yang Maha Kasih, hanya 12 menit sehari selama 30 hari, mengalami pertumbuhan yang terukur dalam ACC otak mereka. Hal ini secara langsung berhubungan dengan penurunan denyut jantung, tekanan darah dan menyebabkan peningkatan 30% dalam pengujian memori [ii]. Merenungkan Tuhan yang Maha Kasih dapat mengurangi rasa takut dan menjadi penyembuh jiwa kita. Ilmu pengetahuan menegaskan apa yang sudah dikatakan oleh Alkitab kepada kita, “kasih yang sempurna menghapuskan semua ketakutan” (1Yohanes 4:18).
Tetapi, sama mengejutkannya, penelitian tentang otak menegaskan bahwa merenungkan pada konsep Tuhan yang penuh murka, amarah dan suka menghukum tidak menghasilkan pertumbuhan positif dalam ACC, juga tidak menyebabkan penurunan tekanan darah, detak jantung, dan tidak menyebabkan peningkatan memori. Dengan kata lain, konsep Tuhan yang penuh murka, amarah dan suka menghukum tidak menyembuhkan otak, tidak meningkatkan rasa kasih sayang, atau meningkatkan fungsi korteks prefrontal. Alih-alih, memercayai konsep semacam itu akan mengaktifkan sirkuit rasa takut otak dan berkontribusi terhadap gangguan dalam pertumbuhan, pemikiran, penalaran, dan gangguan dalam hubungan yang sehat.
Rasa kasih yang dipraktikan akan menjadi penyembuh pada tubuh. Dokumen penelitian menunjukkan bahwa remaja yang secara sukarela (mencintai orang lain dengan tindakan altruisme, lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain) mengalami prestasi akademik yang lebih besar, memiliki tanggung jawab sipil, dan memiliki keterampilan hidup yang mencakup kepemimpinan dan kepercayaan diri interpersonal daripada mereka yang tidak [iii]. Dan orang dewasa yang secara sukarela (setelah memperhitungkan variabel seperti pendidikan, kesehatan dasar, merokok, dll) memiliki hidup yang lebih lama, memiliki lebih sedikit penyakit, lebih sedikit cacat, lebih sedikit depresi, lebih sedikit demensia, dan hidup mandiri lebih lama daripada mereka yang tidak [iv].
Ketakutan adalah musuh kita, yang menginfeksi kita, mendorong kita menuju pemikiran destruktif, yang hidup, dan bereaksi. Sebaliknya, Kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu membebaskan hati kita dari rasa takut dan membawa kesembuhan sejati pada pikiran, tubuh, dan hubungan kita. Jadi, mengasihi lah dengan baik, dan selalu mengasihi.
[i] Iraqi war stunts children’s growth http://www.sciencedaily.com/releases/2010/03/100329082121.htm
[ii] Newberg, A. How God Changes Our Brain. Ballantine Books, New York. 2009: p.49.
[iii] Post, S. Altruism and Health Perspectives from Empirical Research, Oxford University Press, New York, 2007: p. 20, 21).
[iv] Ibid. p. 22, 26