Oleh Laurie Lyon
Novel-novel Dan Brown telah terjual lebih dari 250 juta eksemplar dan diterbitkan dalam lebih dari 50 bahasa, sehingga ketika novel terbarunya, The Secret of Secrets, dirilis pada 9 September 2025, jutaan penggemar di seluruh dunia berbondong-bondong membeli novel misteri thriller bertebal 688 halaman tersebut. Brown, penulis The Da Vinci Code, mengeksplorasi sifat kesadaran manusia dan misteri kehidupan setelah kematian dalam seri terbarunya yang menampilkan tokoh simbolog populer Robert Langdon.
Dalam alur ceritanya, sebuah agen intelijen yang kuat mempekerjakan neurosaintis untuk melakukan eksperimen rahasia pada manusia hidup dalam upaya untuk “memperlengkapi” kesadaran manusia, yang akan menciptakan alat ultimate untuk mengumpulkan intelijen.
Premis utama buku ini adalah bahwa kesadaran manusia bersifat “non-lokal”—artinya berasal dari luar pikiran, bukan dari otak, yang menjelaskan pengalaman mendekati kematian dan menyarankan bahwa kesadaran terus berlanjut setelah kematian dengan memasuki semacam kesadaran yang bersifat universal.
Penulis tampaknya ingin pembaca mempertimbangkan hal ini sebagai kenyataan potensial; dalam pengantar buku, ia menyatakan: “Semua eksperimen, teknologi, dan hasil ilmiah sesuai dengan kenyataan.” Mengingat tiga buku Brown telah diadaptasi menjadi film, dan betapa kuatnya pengaruh media fiksi terhadap orang, The Secret of Secrets dapat dengan mudah berdampak pada jutaan orang. Beberapa di antaranya, tak diragukan lagi, adalah orang-orang Kristen.
Hanya Satu Kebenaran
Anda mungkin pernah melihat iklan-iklannya, bahkan menonton atau membaca beberapa di antaranya: Puluhan film blockbuster, buku, serial, dan media lainnya didasarkan pada pemahaman yang beragam dan seringkali bertentangan tentang kehidupan setelah kematian dan apa yang terjadi ketika seseorang meninggal.
Bahkan dalam Kristen, terdapat interpretasi yang beragam.
Lalu, mengapa penting apa yang diyakini seseorang? Sederhananya, tidak semua di antaranya bisa benar. Faktanya, hanya ada satu penjelasan yang benar tentang kematian, dan sungguh ironis, penjelasan itu datang dari Pencipta kehidupan.
Inilah yang Alkitab, yang diilhamkan oleh Allah kepada manusia, katakan tentang dirinya sendiri: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16).
Mari kita fokus pada kata “pengajaran”—itu adalah apa yang diyakini seseorang, sesuatu yang mereka anggap sebagai kebenaran. Jadi, Alkitab mengklaim bahwa itu diilhamkan oleh Allah dan merupakan dasar yang sempurna untuk membentuk sistem keyakinan Anda. Jika Anda menerima kebenaran ini, Alkitab memiliki banyak hal untuk diajarkan tentang kematian dan kehidupan setelah kematian.
Rahasia yang Tidak Begitu Rahasia
Sepanjang sejarah, kesadaran manusia dan kehidupan setelah kematian tetap menjadi misteri bagi ilmuwan, filsuf, dan pemimpin spiritual. Namun, kebenaran yang jauh lebih maju daripada teori manusia mana pun tentang topik-topik ini berasal dari Dia yang menciptakan pikiran dan jiwa manusia sejak awal. Mari kita lihat beberapa kebenaran ini dan ayat-ayat Alkitab yang mendukungnya:
Jiwa manusia tidaklah abadi. Faktanya, Alkitab mengajarkan bahwa kita adalah jiwa, bukan memiliki jiwa. Misalnya, ketika Allah membentuk manusia pertama, Ia menghembuskan “nafas kehidupan” ke dalam tubuh itu; barulah manusia itu menjadi “jiwa yang hidup” (Kejadian 2:7 KJV). Kitab Suci juga memberitahu kita, “Jiwa yang berbuat dosa akan mati” (Yehezkiel 18:20). Selain itu, Alkitab mengingatkan kita bahwa hanya Allah yang memiliki keabadian (1 Timotius 6:15, 16). Pada akhirnya, Ia akan menganugerahkan keabadian kepada mereka yang diselamatkan, tetapi saat ini kita semua adalah makhluk yang fana.
Manusia tidak memiliki kesadaran setelah kematian. Sebuah kutipan yang ditulis oleh Raja Salomo yang bijaksana menjelaskan fakta-fakta tersebut: “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap; Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari. … Tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, ke mana engkau akan pergi.” (Pengkhotbah 9:5, 6, 10)
Yesus dengan jelas mengajarkan bahwa kematian adalah tidur. “Ia berkata kepada mereka, ‘Sahabat kita Lazarus tidur, tetapi Aku pergi untuk membangunkannya.’ Maka murid-murid-Nya berkata, ‘Tuhan, jika dia tidur, dia akan sembuh.’ Namun, Yesus berbicara tentang kematiannya, tetapi mereka mengira Dia berbicara tentang istirahat dalam tidur. Lalu Yesus berkata kepada mereka dengan jelas, ‘Lazarus telah mati’” (Yohanes 11:11–14). Dia berkata hal yang sama tentang seorang gadis yang telah mati, yang kemudian Dia bangkitkan, menyebut kematiannya sebagai “tidur.”
Mereka yang berada di pihak Allah akan menerima keabadian ketika Yesus kembali. Inilah janji-Nya mengenai Kedatangan Kedua: “Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia: kita tidak akan mati semuanya, tetapi kita semuanya akan diubah, 52dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. 53Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati.” (1 Korintus 15:51–53).
Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Kuasa tidak hanya memberikan kita kebenaran tentang kehidupan setelah kematian, tetapi Dia juga telah menjanjikan kita dunia masa depan yang bebas dari penderitaan yang kita lihat di dunia ini. Hal ini akan mulai terwujud ketika Yesus kembali untuk membangkitkan dan menerima mereka yang telah menaruh iman pada-Nya dan keselamatan-Nya.
Ia berkata, “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4). Mengapa Ia melakukan itu untuk kita? Hanya ada satu penjelasan: Ia mengasihi kita.