By Max L. Rossvally
Doa Anak Laki-laki Penabuh Drum
Dua atau tiga kali selama hidup, Tuhan dalam kemurahanNya menyentuh hati saya, dan kali yang kedua sebelum saya bertobat, saya benar-benar diyakinkan.
Selama Perang Amerika I, saya adalah seorang ahli bedah di pasukan Amerika Serikat, dan setelah perang di Gettysburg, ada ratusan prajurit yang terluka di rumah sakit, 28 di antaranya terluka begitu hebat sehingga mereka memerlukan pertolongan saya secepatnya; ada yang kakinya harus diamputasi, beberapa orang tangannya, sementara yang lain tangan dan kakinya. Salah seorang yang harus diamputasi tangan dan kakinya adalah seorang anak laki-laki yang telah berada bersama-sama dengan pasukan selama 3 bulan. Ia terlalu muda untuk menjadi seorang prajurit sehingga ia pun didaftarkan menjadi seorang penabuh drum. Ketika asisten bedah saya dan seorang perawat ingin memberikan obat bius sebelum amputasi dilakukan, anak laki-laki ini memalingkan kepalanya, dan dengan sopan menolak untuk menerima bius itu. Ketika perawat mengatakan kepadanya bahwa itu adalah perintah dokter, ia berkata, “Tolong pertemukan saya dengan dokter.”
Ketika saya datang ke sisi ranjangnya, saya berkata, “Anak muda, mengapa kau menolak obat bius? Ketika saya menemukanmu di medan perang, kau terluka begitu parah sehingga saya rasa percuma mengangkatmu. Tetapi ketika kau membuka mata birumu yang besar itu, saya berpikir bahwa engkau memiliki seorang ibu entah di mana, yang saat itu mungkin sedang memikirkan anaknya. Saya tidak ingin engkau mati di medan perang, sehingga saya memerintahkan agar engkau dibawa ke sini; tapi engkau telah kehilangan begitu banyak darah sehingga engkau menjadi terlalu lemah untuk dapat bertahan dalam operasi tanpa obat bius, karena itu engkau harus membiarkan saya memberimu sedikit obat bius.”
Anak laki-laki itu meletakkan tangannya di atas tangan saya, dan menatap saya kemudian berkata, “Dokter, pada satu siang di hari Minggu, saya sedang mengikuti sekolah Minggu. Saat itu saya berusia 9 setengah tahun, dan saya memberikan hati saya kepada Kristus. Saya belajar untuk mempercayaiNya pada waktu itu. Saya telah mempercayaiNya sejak dulu, dan saya tahu saya bisa mempercayaiNya sekarang. Ia adalah kekuatan dan semangat saya; Ia akan mendukung saya sementara Anda mengamputasi tangan dan kaki saya.”
Saya kemudian bertanya kepadanya apakah ia akan mengizinkan saya untuk memberinya sedikit brandy. Kembali ia menatap saya dan berkata, “Dokter, ketika saya berumur 5 tahun, ibu saya berlutut di sisi saya dan lengannya merangkul leher saya dan ia berkata, ‘Charlie, Ibu akan berdoa kepada Yesus agar engkau tidak akan pernah mengetahui rasa minuman keras. Papamu meninggal sebagai seorang pemabuk, dan Ibu berjanji kepada Tuhan, jika oleh kehendakNya engkau bisa tumbuh dewasa, maka engkau akan memperingatkan anak-anak muda tentang bahayanya minuman keras itu.’ Sekarang saya berumur 17 tahun, dan belum pernah mencicipi minuman yang lebih keras daripada teh dan kopi; kini dalam keadaan seperti ini, saya hampir menghadap ke hadirat Tuhanku, apakah Anda akan membawa saya ke sana dengan brandy dalam perut saya?
Tatapan anak itu tidak akan pernah saya lupakan. Saat itu saya membenci Yesus, tetapi saya menghargai kesetiaan anak itu kepada Juru Selamatnya, dan ketika saya melihat betapa ia mengasihi dan mempercayaiNya hingga detik terakhir, ada sesuatu yang menyentuh hati saya, dan saya pun melakukan sesuatu untuk anak itu yang tak pernah saya lakukan untuk prajurit lain—saya bertanya kepadanya apakah ia ingin bertemu dengan pendeta.
“Oh, ya tentu saja!” jawabnya
Ketika Pendeta R_______ datang, ia langsung mengenali anak itu. Mereka sering bertemu di kemah pertemuan doa. Pendeta itu meraih tangan si anak dan berkata:
“Charlie, saya sangat menyesal melihatmu dalam kondisi yang menyedihkan ini.”
“Oh, saya baik-baik saja, pendeta,” jawabnya. “Dokter menawarkan obat bius kepada saya tapi saya menolaknya; kemudian ia ingin memberikan saya brandy yang juga saya tolak; dan sekarang jika Juruselamat memanggil saya, saya dapat pergi kepadaNya dalam pikiran yang sehat.” “Kau tidak akan meninggal, Charlie,” kata pendeta; “tapi jika Tuhan betul akan memanggilmu, apakah ada sesuatu yang bisa saya lakukan untukmu setelah kau pergi?”
“Pendeta, tolong letakkan tanganmu di bawah bawah bantal saya, ada sebuah Alkitab kecil di sana dan di dalamnya Anda akan menemukan alamat ibu saya. Tolong kirimkan Alkitab itu kepadanya dan tuliskan ia surat, katakan kepadanya bahwa sejak hari saya meninggalkan rumah, saya tidak pernah membiarkan 1 hari berlalu tanpa membaca Firman Tuhan, dan saya selalu berdoa agar Tuhan akan memberkati ibu saya yang terkasih, entah di tengah barisan, di medan perang maupun di rumah sakit.
“Apakah ada hal lain yang bisa saya lakukan untukmu anakku?” tanya pendeta itu.
“Ada, dan tolong tuliskan surat kepada pemimpin Sekolah Minggu di Sands Street Brooklyn N.Y. Katakan kepadanya bahwa kata-kata baik, doa-doa, dan nasihat bijak yang ia berikan tidak pernah saya lupakan; semuanya itu menemani saya melewati semua bahaya pertempuran, dan kini, ketika saya sedang sekarat, saya meminta Juruselamat saya yang terkasih untuk memberkati pemimpin Sekolah Minggu yang saya kasihi. Hanya itu saja.”
Menoleh kepada saya, anak laki-laki itu berkata, “Sekarang dokter, saya siap, dan saya berjanji kepada Anda bahwa jika Anda tidak memberikan saya obat bius, saya tidak akan merintih ketika Anda mengamputasi tangan dan kaki saya.”
Saya berjanji tidak akan memberikannya obat bius, tapi saya tidak berani mengoperasi anak itu tanpa terlebih dahulu pergi ke ruang sebelah dan meminum sedikit obat untuk menenangkan diri sebelum melaksanakan tugas itu.
Selama saya memotong dagingnya, Charlie Coulson tidak pernah mengerang, tetapi ketika saya mengambil gergaji untuk memisahkan tulang, anak itu mengigit ujung bantalnya dan kata-kata yang bisa saya dengar adalah, “Oh, Yesus, Yesus! Bersama-samalah denganku sekarang.” Ia menepati janjinya dan tidak pernah merintih.
Malam itu saya tidak dapat tidur, karena kemanapun saya berpaling, saya melihat mata biru yang lembut, dan ketika saya menutup mata, kata-kata, “Yesus, bersama-samalah denganku,” terus mendengung dalam telinga saya. Antara jam 11 malam dan 1 subuh, saya bangun dari tempat tidur dan mengunjungi rumah sakit—suatu hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya kecuali jika dipanggil secara khusus, tapi saya memiliki keinginan untuk melihat anak itu. Ketika tiba, saya diberitahu oleh perawat jaga malam bahwa 16 orang dengan kasus yang tidak berpengharapan telah meninggal dan telah dibawa ke ruang jenazah.
“Bagaimana dengan Charlie Coulson? Apakah ia juga telah meninggal?” saya bertanya.
“Tidak, dok,” jawab perawat itu, “ia tidur dengan tenang seperti seorang bayi.”
Ketika saya menghampiri ranjang dimana ia berbaring, salah seorang perawat memberitahu saya tentang dua orang anggota dari Asosiasi Pemuda Kristen yang datang ke gereja untuk membacakan Alkitab dan menyanyikan lagu pujian; mereka didampingi oleh pendeta R______, yang berlutut di sisi ranjang Charlie Coulson dan menaikkan doa yang sungguh-sungguh dan menyentuh jiwa, dan setelah itu, masih sambil berlutut, mereka menyanyikan lagu pujian terindah, “Yesus Kekasih Jiwaku,” dan Charlie pun ikut menyanyi. Saya tidak dapat mengerti bagaimana anak itu, yang sedang mengalami sakit yang luar biasa dapat bernyanyi.
Lima hari setelah amputasi tangan dan kaki, saya mendatangi anak itu, dan darinya lah saya mendengarkan khotbah injil saya yang pertama. “Dokter,” katanya, “Saatnya telah tiba. Saya tidak berharap akan melihat matahari terbit lagi, tapi puji Tuhan, sekarang saya siap untuk pergi; dan sebelum saya meninggal, saya ingin berterimakasih kepada Anda dengan sepenuh hati saya untuk kebaikan Anda kepada saya. Dokter, Anda adalah seorang Yahudi, Anda tidak percaya kepada Yesus; tapi maukah anda berdiri di sini dan melihat saya meninggal dalam iman saya kepada Juruselamat hingga detik terakhir?”
Saya berusaha untuk tetap tinggal tapi saya tidak sanggup; saya tidak memiliki keberanian untuk tinggal dan menyaksikan seorang anak Kristen meninggal dalam sukacitanya mengasihi Yesus. Yesus yang telah diajarkan kepada saya untuk dibenci. Jadi saya dengan segera meninggalkan ruangan itu. Sekitar dua puluh menit kemudian, seorang perawat mendatangi saya yang sedang duduk di ruangan saya sambil menutup muka, ia berkata, “Dokter, Charlie Coulson ingin bertemu Anda.”
“Saya baru saja bertemu dengannya,” jawab saya, “dan saya tidak bisa bertemu lagi dengannya.”
“Tapi Dokter, ia berkata bahwa ia harus bertemu Anda sekali lagi sebelum ia meninggal.”
Sekarang saya memutuskan untuk bertemu dengannya, mengucapkan kata-kata penghiburan sebelum ia meninggal, namun saya bertekad bahwa tidak ada kata-katanya yang dapat mempengaruhi saya sama sekali jika itu berhubungan tentang Yesus. Ketika saya memasuki rumah sakit, saya melihat kondisinya memburuk dengan cepat, jadi saya duduk di sisi ranjang. Sambil meminta saya untuk menggenggam tangannya, ia berkata:
“Dokter, saya mengasihi Anda karena Anda adalah seorang Yahudi; sahabat terbaik saya di dunia ini juga adalah seorang Yahudi.”
Saya bertanya, “Siapakah dia?”
Anak laki-laki itu menjawab, “Yesus Kristus. Dialah yang ingin saya perkenalkan kepada Anda sebelum saya meninggal; dan maukah Anda berjanji kepada saya, Dokter, bahwa Anda tidak akan melupakan apa yang akan saya sampaikan kepada Anda?” Saya pun berjanji, dan ia berkata, “Lima hari lalu ketika Anda mengamputasi tangan dan kaki saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus agar Ia mempertobatkan jiwa Anda.”
Kata-kata ini meresap ke dalam hati saya. Saya tidak bisa mengerti bagaimana ia dapat melupakan dirinya sendiri ketika saya sedang membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat dan malah memikirkan Juruselamatnya dan jiwa saya yang belum bertobat. Yang bisa saya katakan kepadanya adalah, “Anakku, kau akan segera baik-baik saja.” Setelah mengucapkannya, saya pergi, dan dua belas menit kemudian ia tertidur “aman di lengan Yesus.”
Ada ratusan prajurit yang meninggal di rumah sakit itu selama perang, tapi hanya satu yang saya dampingi hingga meninggal, ia adalah Charlie Coulson, si anak penabuh drum, dan saya berkendara sejauh 3 mil untuk melihatnya dimakamkan. Saya memakaikannya seragam baru, dan menempatkannya di dalam peti mati perwira dengan bendera Amerika Serikat di atasnya.
Kata-kata terakhir anak itu meninggalkan kesan yang dalam bagi saya. Saat itu saya kaya, tapi saya rela memberikan setiap sen uang yang saya miliki jika saya dapat merasakan apa yang Charlie rasakan kepada Kristus. Akan tetapi perasaan seperti itu tidak dapat dibeli dengan uang.
Selama beberapa bulan setelah kematiannya, saya tidak dapat menyingkirkan kata-kata anak itu. Perkataannya terus menggema di telinga saya, tapi berada bersama para perwira yang duniawi, perlahan saya mulai melupakan khotbah yang diberikan Charlie di saat-saat terakhirnya; tapi saya tidak dapat melupakan ketabahannya yang luar biasa di tengah penderitaan hebatnya, serta kepercayaannya yang sungguh-sungguh kepada Yesus yang namaNya saat itu saya cela dan hina.
Untuk sepuluh tahun yang panjang berikutnya, saya melawan Kristus dengan seluruh kebencian yang dimiliki oleh seorang Yahudi Ortodoks, hingga Tuhan dalam kemurahanNya membawa saya bertemu dengan seorang tukang pangkas rambut Kristen, yang merupakan alat kedua yang digunakan Tuhan untuk menobatkan saya menjadi seorang Kristen.
Pada penutupan Perang Amerika I saya ditunjuk sebagai ahli bedah pengawas yang bertanggung jawab untuk rumah sakit militer di Galveston, Texas. Setelah selesai bertugas dan sedang dalam perjalanan ke Washington, saya berhenti beberapa jam di New York untuk beristirahat di hotel. Setelah makan malam saya turun ke bawah ke tempat pangkas rambut (yang saat itu berada di bawah setiap hotel ternama di Amerika Serikat). Ketika memasuki ruangan, saya terkejut melihat ada banyak ayat alkitab beraneka warna yang dibingkai dan digantung di dinding. Saya pun duduk di salah satu kursi pangkas, dan membaca tulisan yang ada tepat di arah yang berlawanan: “Mohon jangan menyumpah di ruangan ini.” Tidak lama kemudian tukang pangkas mengoleskan krim cukur ke wajah saya dan ia mulai berbicara kepada saya tentang Yesus. Ia berbicara dengan cara yang sangat menarik dan penuh kasih sehingga prasangka saya hilang, dan saya mulai mendengarkan dengan rasa tertarik.
Selama ia berbicara, Charlie Coulson, anak penabuh drum itu muncul di pikiran saya, meskipun ia telah meninggal sepuluh tahun silam. Saya sangat senang mendengarkan kata-kata dan sikap si tukang pangkas sehingga ketika ia selesai mencukur janggut saya, saya menyuruhnya untuk memotong rambut saya, meskipun sebenarnya saya tidak berniat untuk itu sebelumnya. Dan sementara menggunting rambut saya, ia meneruskan khotbahnya, memberitakan Kristus kepada saya dan memberitahu saya bahwa meskipun ia bukan seorang Yahudi, tapi pada satu waktu, ia sama jauhnya dengan Kristus seperti saya pada saat itu.
Saya mendengarkannya dengan penuh perhatian, ketertarikan saya meningkat seiring dengan bertambahnya kata yang ia ucapkan. Hingga ketika ia selesai memotong rambut, saya berkata, “Pak, Anda sekarang bisa memberikan shampo di kepala saya;” kenyataannya, saya membiarkan dia melakukan semua hal yang bisa ia lakukan sesuai profesinya kepada pelanggannya. Namun demikian, segala sesuatu ada akhirnya, dan waktu saya sudah hampir habis, saya pun bersiap untuk pergi. Saya membayarnya dan berterima kasih kepada tukang pangkas itu untuk keramahannya, dan berkata, “Saya harus bergegas untuk naik kereta berikutnya.” Akan tetapi tukang pangkas itu belum puas.
Hari itu adalah hari yang sangat dingin di bulan Februari, dan es di tanah membahayakan mereka yang berjalan di jalan. Jarak antara stasiun kereta dan hotel hanya dua menit, dan tukang pangkas yang baik hati itu menawarkan diri untuk menemani saya berjalan ke stasiun. Saya menerima tawarannya dengan senang hati, dan tidak lama kemudian kami pun berjalan dan ia memegang tangan saya untuk mencegah saya terjatuh. Ia tidak berkata banyak selama kami berjalan hingga tiba di tujuan; ketika kami tiba di stasiun, ia memecah kesunyian dengan berkata—“Tuan, mungkin Anda tidak mengerti mengapa saya memilih untuk berbicara kepada Anda mengenai topik yang sangat berharga bagi saya. Tetapi begitu Anda memasuki ruangan, saya melihat wajah Anda dan mengetahui bahwa Anda adalah seorang Yahudi.” Ia masih terus berbicara kepada saya tentang “Juruselamatnya yang terkasih”, dan berkata bahwa ia merasa bahwa adalah tugasnya, kapanpun ia bertemu dengan seorang Yahudi, untuk mencoba memperkenalkannya kepada Seseorang yang ia rasa adalah Sahabat terbaiknya, baik di dunia ini maupun di dunia yang akan datang. Ketika melihatnya kembali, saya melihat air mata menetes di pipinya, dan sangat kentara bahwa emosinya sangat tergugah. Saya tidak dapat mengerti bagaimana pria ini, yang benar-benar orang asing bagi saya, mau menaruh perhatian yang besar terhadap keselamatan saya, dan juga menangis ketika berbicara kepada saya.
Saya mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya dan mengucapkan selamat tinggal. Ia meraihnya dengan kedua tangannya dan dengan lembut menggenggamnya, dengan air mata masih mengalir di wajahnya ia berkata, “Tuan, jika Anda bersedia; jika Anda mau memberikan kartu nama atau nama Anda kepada saya, saya berjanji sebagai seorang Kristen bahwa selama tiga bulan berikutnya, saya tidak akan berhenti menyebutkan nama Anda di dalam doa saya. Dan sekarang, kiranya Kristus saya mengikuti Anda, menyusahkan Anda, dan tidak memberi Anda istirahat hingga Anda menemukannya sebagaimana saya telah menemukanNya—seorang Juruselamat mulia dan Mesias yang telah kalian nantikan selama ini.”
Saya berterima kasih kepadanya untuk perhatiannya, dan setelah memberikan kartu nama kepadanya, saya berkata dengan sangat ragu,”Saya pikir saya tidak mungkin menjadi seorang Kristen.” Ia lalu memberikan kartu namanya kepada saya seraya berkata, “Maukah Anda mengirimkan saya pesan atau surat jika Tuhan menjawab doa saya mengenai Anda?”
Saya tersenyum ragu dan berkata, “Tentu saja saya akan melakukannya,” tidak pernah saya bermimpi bahwa dalam 48 jam berikutnya Tuhan dalam kemurahanNya akan menjawab doa si tukang pangkas. Saya menjabat tangannya dengan sepenuh hati dan berpamitan, akan tetapi meskipun dari luar saya tampak tidak acuh, namun saya merasa ia telah meninggalkan kesan yang dalam di pikiran saya, seperti yang akan nampak selanjutnya.
Gerbong kereta api Amerika jauh lebih panjang daripada gerbong kereta api Inggris. Hanya ada satu kompartemen dengan tempat duduk yang dapat menampung 60 hingga 80 orang. Karena cuaca sangat dingin, maka tidak begitu banyak penumpang di dalam kereta ini. Gerbong yang saya naiki hanya terisi setengah, dan tanpa menyadari fakta itu, dalam waktu kurang dari sepuluh atau lima belas menit, saya telah menduduki setiap kursi kosong di dalam kompartemen.
Para penumpang mulai melihat saya dengan rasa curiga karena mereka melihat saya berpindah tempat duduk begitu sering dalam waktu singkat tanpa tujuan tertentu. Saya sendiri saat itu tidak merasa ada yang aneh, meskipun saya sendiri tidak bisa menjelaskan perilaku aneh itu. Akhirnya saya pergi ke satu tempat duduk kosong di sudut ruangan dengan maksud untuk tidur. Namun ketika saya menutup mata,saya merasa berada di antara dua api. Di satu sisi ada tukang pangkas Kristen di New York, dan di satu sisi ada anak laki-laki penabuh drum di Gettysburg—keduanya berbicara kepada saya tentang Yesus yang namanya saya benci. Saya merasa mustahil untuk tidur ataupun menjauhkan kesan yang dibuat dalam pikiran saya oleh dua orang Kristen yang setia ini—yang satu baru saja mengucapkan selamat tinggal kepada saya satu jam yang lalu, sementara yang satu telah meninggal hampir sepuluh tahun lalu—dan saya terus merasa kacau dan bingung selama berada di kereta.
Ketika tiba di Washington, saya membeli koran, dan satu hal yang menarik perhatian saya adalah pengumuman tentang ibadah kebangunan di Gereja Jemaat Dr. Rankin, gereja terbesar di Washington. Begitu membaca pengumuman itu, ada suara dari dalam diri saya yang berkata, “Pergilah ke gereja itu.” Saya tidak pernah berada dalam gereja Kristen untuk beribadah, di waktu yang lain, saya pasti akan menganggap pikiran itu datang dari setan. Ketika saya masih kecil, ayah saya menginginkan saya menjadi seorang Rabbi dan saya pun berjanji tidak akan pernah masuk ke tempat dimana “Yesus, Penipu itu” disembah sebagai Tuhan, dan bahwa saya tidak akan pernah mencoba untuk membaca buku yang berisi nama tersebut. Hingga saat itu, saya dengan setia telah menepati janji saya.
Sehubungan dengan kebaktian kebangunan tersebut, tertera bahwa akan ada paduan suara dari berbagai gereja di kota, yang akan menyanyi di sana. Sebagai seorang pencinta musik, hal ini menarik perhatian saya, dan saya pun membuat alasan untuk mengunjungi gereja selama kebaktian kebangunan pada malam itu. Ketika saya memasuki gereja, yang dipenuhi oleh umat, salah satu penerima tamu yang sepertinya tertarik oleh tanda pangkat saya yang terbuat dari emas (saya belum mengganti seragam pada saat itu), mendudukkan saya di kursi bagian depan di gereja, tepat di depan pengkhotbah—seorang penginjil yang terkenal di Inggris dan Amerika. Saya terpukau dengan nyanyian yang indah; akan tetapi belum lagi lima menit penginjil itu berkhotbah, saya menyimpulkan bahwa seseorang pasti sudah menyampaikan kepadanya siapa saya, karena saya merasa ia menunjuk jarinya ke arah saya. Ia terus melihat saya, dan selalu tampak menggoncangkan kepalan tangannya ke arah saya. Namun meskipun demikian, saya merasa sangat tertarik dengan apa yang ia katakan. Tapi bukan itu saja, kata-kata dari dua pengkhotbah sebelumnya masih terngiang di telinga saya—tukang pangkas Kristen di New York dan anak laki-laki penabuh drum dari Gettysburg—meneguhkan perkataan si penginjil, dan dalam hati, saya dapat melihat dua teman itu juga mengulangi khotbah mereka. Menjadi semakin dan semakin tertarik dengan kata-kata si pengkhotbah, saya merasa air mata menetes di wajah saya. Saya terkejut karenanya, dan mulai merasa malu karena saya, seorang Yahudi ortodoks bisa menjadi kekanak-kanakan seperti ini sehingga meneteskan air mata di gereja Kristen. Itu adalah pertama kalinya terjadi.
Saya lupa menyebutkan bahwa selama kebaktian, dan selama pengkhotbah terus melihat saya, pikiran yang muncul adalah bahwa ia mungkin saja menunjuk jarinya kepada orang lain di belakang saya, dan saya pun menoleh ke belakang untuk melihat siapa orang tersebut, dan saya terkejut mendapatkan bahwa seluruh jemaat itu yang berjumlah lebih dari dua ribu orang, dari semua tingkat sosial, tampak melihat ke arah saya. Saya pun menyimpulkan bahwa saya adalah satu-satunya orang Yahudi di tempat itu, dan saya sungguh-sungguh berharap dapat keluar dari gereja. Karena saya merasa berada di tempat yang salah. Dikenal baik di Washington, baik oleh orang Yahudi maupun orang bukan yahudi, pikiran yang melintas di benak saya adalah, bagaimana berita itu akan muncul di koran Washington, “Dr. Rossvally, seorang Yahudi, hadir di sebuah kebaktian kebangunan di gereja yang berjarak lima menit dari sinagog yang biasa ia hadiri, dan kedapatan menangis di tengah khotbah”. Bertekad untuk tidak mencolok (karena ada beberapa wajah yang saya kenal), saya pun tidak mengambil sapu tangan untuk menghapus air mata; air mata itu harus mengering sendiri. Tapi terpujilah Tuhan, air mata itu tidak berhenti mengalir, ia malah terus dan terus mengalir dengan cepat.
Tak lama kemudian, pengkhotbah menyelesaikan khotbahnya, dan saya terkejut mendengar dia mengumumkan pertemuan setelah acara berakhir untuk semua yang ingin tetap tinggal. Saya tidak menerima undangan itu karena sudah terlalu lega sebelumnya dapat meninggalkan gereja. Bermaksud pergi, saya bangkit dari tempat duduk, dan ketika tiba di pintu, seseorang memegang ujung mantel saya. Saya berbalik dan melihat seorang ibu setengah baya, yang ternyata adalah Mrs. Young dari Washington, seorang pekerja Kristen yang cukup terkenal.
Ia berkata kepada saya, “Permisi Bapak, saya melihat bahwa Anda adalah seorang yang bertugas di pasukan. Saya telah mengamati Anda sepanjang malam ini, dan saya minta Anda untuk tidak meninggalkan tempat ini, karena saya merasa Anda sedang tergerak hati untuk bertobat. Saya percaya Anda kemari untuk mencari Juruselamat, dan Anda belum menemukannya. Kembalilah lagi; saya ingin berbicara dengan Anda, dan jika anda mengijinkan, saya akan berdoa untuk Anda.”
“Nyonya,” saya menjawab, “Saya adalah seorang Yahudi.”
Ibu itu membalas, “Saya tidak peduli Anda adalah seorang Yahudi; Kristus Yesus wafat bagi orang Yahudi sebagaimana juga untuk orang bukan Yahudi.”
Gaya berbicara persuasif yang ia gunakan ketika mengatakan kata-kata itu mempengaruhi saya. Saya mengikutinya kembali ke tempat yang baru saja saya tinggalkan dengan tergesa, dan ketika kami tiba di depan, ia berkata,
“Jika Anda mau bertelut saya akan berdoa bagi Anda.”
“Nyonya, itu adalah suatu hal yang belum pernah saya lakukan dan tidak akan pernah saya lakukan.”
Mrs. Young melihat saya dengan wajah yang tenang dan berkata, “Bapak, saya telah menemukan seorang Juruselamat yang begitu berharga, pengasih dan pengampun di dalam Yesusku dan saya sangat percaya dalam hati saya bahwa Ia dapat mengubah seorang Yahudi yang berdiri di atas kakinya, dan saya akan berlutut dan berdoa untuk itu.”
Ia segera melakukan apa yang ia katakan, dan berlutut serta mulai berdoa, berbicara kepada Juruselamatnya dengan cara seperti seorang anak yang sederhana kepada Bapanya yang membuat saya gugup. Saya merasa malu terhadap diri saya sendiri, melihat seorang wanita tua berlutut di dekat saya sementara saya berdiri, dan berdoa dengan sungguh-sungguh untuk saya. Seluruh kehidupan saya di masa lalu melintas dengan sangat jelas dalam pikiran saya dan saya sangat berharap lantai akan terbuka agar saya dapat menghilang dari situ. Ketika ia bangkit, ia mengulurkan tangannya dan dengan simpati seorang ibu, ia berkata, “Maukah Anda berdoa kepada Yesus sebelum Anda tidur malam ini?”
“Nyonya,” sahut saya, “Saya akan berdoa kepada Allah saya, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, tapi bukan kepada Yesus.”
“Diberkatilah jiwamu!” katanya, “Allah Abraham, Ishak dan Yakub adalah Kristusku dan Mesiasmu!”
“Selamat malam, Nyonya, dan terima kasih untuk kebaikan Anda,” kata saya sambil perlahan meninggalkan gereja itu.
Dalam perjalanan pulang, saya mengingat kembali pengalaman aneh saya, dan saya mulai berpikir, “Mengapa orang-orang Kristen ini menaruh perhatian kepada orang Yahudi dan bukan Yahudi, yang adalah orang asing bagi mereka. Mungkinkah jutaan pria dan wanita yang selama 1800 tahun ini telah hidup dan mati dalam keyakinan mereka kepada Kristus salah, dan sedikit orang Yahudi yang tersebar di seluruh dunialah yang benar?” Mengapa anak laki-laki penabuh drum itu ketika sedang sekarat masih memikirkan jiwa saya yang menurutnya belum bertobat? Dan juga mengapa tukang pangkas Kristen di New York menunjukkan perhatian besar kepada saya? Mengapa pengkhotbah malam ini hanya melihat kepada saya dan menunjukkan jarinya kepada saya, dan mengapa wanita yang baik tadi mengikuti saya hingga ke pintu dan menahan saya? Pastilah itu semua karena kasih mereka untuk Yesus mereka, yang saya hina dengan sangat.” Semakin lama saya memikirkan hal ini, semakin buruk perasaan saya. Di sisi lain saya berargumen:
“Apakah mungkin ibu dan ayah saya, yang begitu mengasihi saya mengajarkan saya hal yang salah? Ketika saya kecil, mereka mengajarkan saya untuk membenci Yesus: bahwa hanya ada satu Allah, dan Ia tidak memiliki Anak.” Sekarang saya merasakan keinginan muncul di hati saya untuk mengenal siapa Yesus yang begitu dikasihi orang Kristen itu. Saya mulai berjalan cepat, bertekad penuh untuk menyelidiki. Jika ada kebenaran dalam agama Yesus Kristus, maka saya harus mengetahui sesuatu tentang itu sebelum tidur.
Ketika saya tiba di rumah, istri saya (yang merupakan wanita Yahudi Ortodoks yang ketat) melihat bahwa saya terlihat bersemangat, dan ia bertanya saya baru dari mana. Saya tidak berani mengatakan kebenaran tapi saya juga tidak ingin mengatakan kebohongan, jadi saya berkata:
“Istriku, tolong jangan bertanya apa-apa. Aku memiliki urusan sangat penting yang harus kulakukan. Aku akan pergi ke ruanganku untuk belajar dimana aku bisa sendirian.” Saya langsung pergi ke ruangan belajar, mengunci pintu, dan mulai berdoa, berdiri dengan wajah menghadap timur seperti yang selalu saya lakukan. Semakin lama saya berdoa, semakin buruk perasaan saya. Saya tidak dapat menyingkirkan perasaan gundah itu. Saya merasa sangat bingung untuk mengerti arti dari banyak nubuatan di Perjanjian Lama yang sangat menarik bagi saya. Doa saya tidak memberikan kepuasan, dan tiba-tiba saya teringat bahwa orang Kristen berlutut ketika mereka berdoa. Apakah ada sesuatu dalam berlutut? Dibesarkan sebagai seorang Yahudi ortodoks yang ketat, saya tidak pernah diajar untuk berlutut ketika berdoa. Rasa takut menyelimuti saya, bahwa jika saya berlutut maka mungkin saya telah tertipu untuk berlutut kepada Yesus yang sejak kecil diajarkan kepada saya adalah seorang penipu.
Meskipun malam itu sangat dingin, dan tidak ada api di ruangan itu (saya tidak terpikir untuk menggunakan ruangan itu pada malam itu), namun saya tidak pernah berkeringat begitu banyak seumur hidup saya seperti pada malam itu. Phylacteries (*dua kotak kulit kecil yang berisi tulisan ayat kitab suci dan dikenakan di tangan kiri dan di kepala oleh orang Yahudi selama doa pagi) milik saya tergantung di dinding dan tertangkap pandangan mata. Sejak umur tiga belas tahun, saya tidak pernah melewatkan sehari tanpa mengenakannya kecuali pada hari raya ataupun hari sabat Yahudi. Saya sangat menyayanginya. Saya meraihnya dengan tangan, dan ketika memandanginya, Kejadian 49:10 melintas dalam pikiran saya:
“Tongkat kerajaan tidak akan beranjak dari Yehuda ataupun lambang pemerintahan dari antara kakinya, sampai dia datang yang berhak atasnya, maka kepadanya akan takluk bangsa-bangsa.” Demikian juga dengan dua ayat lainnya yang sering saya baca dan renungkan, mereka hadir dengan jelas dalam pikiran saya; salah satunya dari Mikha 5:1, “Tetapi engkau, hai Betlehem Efrata, hai yang terkecil di antara kaum-kaum Yehuda, dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel, yang permulaannya sudah sejak purbakala, sejak dahulu kala.”
Ayat lainnya adalah nubuatan terkenal dalam Yesaya 7:14: “Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.”
Tiga ayat ini menanamkan kesan sangat kuat dalam pikiran saya sehingga saya berseru: “Oh Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, Engkau mengetahui bahwa saya sungguh-sungguh dalam hal ini. Jika Yesus Kristus adalah Anak Allah, beritahu saya malam ini, dan saya akan menerimaNya sebagai Mesias.”
Tidak lama setelah mengatakan itu, hampir dalam keadaan tidak sadar, saya menghempaskan phylacteries saya ke sudut ruangan, dan dalam sekejap, saya telah berlutut, di sudut yang sama dimana phylacteries itu tergeletak di lantai. Melemparkan phylacteries ke lantai seperti itu, bagi seorang Yahudi adalah tindakan penghujatan. Sekarang saya berdoa dengan berlutut untuk pertama kalinya dalam hidup saya, dan pikiran saya tidak tenang dan ragu akan tindakan ini.
Saya tidak akan melupakan doa saya yang pertama kepada Yesus. Isinya seperti ini: “Oh Tuhan Yesus Kristus, jika Engkau adalah Anak Allah; jika Engkau adalah Juruselamat Dunia; Jika Engkau adalah Mesiasnya orang Yahudi, yang hingga kini masih kami, orang Yahudi tunggu; dan jika Engkau dapat menobatkan pendosa seperti yang dikatakan oleh orang Kristen, maka tobatkanlah aku, karena aku adalah seorang pendosa, dan aku berjanji akan melayaniMu seumur hidupku.”
Namun demikian, doa saya ini mengambang tidak lebih tinggi dari kepala saya. Alasannya jelas, karena saya membuat tawar menawar dengan Yesus, bahwa jika Ia melakukan apa yang saya minta, maka saya, akan melakukan apa yang telah saya janjikan. Saya tetap berlutut selama setengah jam dan selama itu pula tetesan keringat mengucur di wajah saya. Kepala saya terasa begitu panas, sehingga saya menempelkannya ke tembok ruangan untuk mendinginkannya. Saya merasa tersiksa, namun belum bertobat. Saya bangkit dan berjalan mondar mandir di dalam kamar, dan ada pikiran yang datang yang mengatakan bahwa saya sudah melangkah terlalu jauh, dan saya bersumpah tidak akan pernah berlutut lagi. Saya mulai berargumen dengan diri saya sendiri: “Mengapa saya harus berlutut? Tidak bisakah Allah Abraham, yang saya kasihi, layani, dan sembah seumur hidup saya melakukan apa yang telah Kristus lakukan untuk orang bukan Yahudi?” Saya menilainya tentu saja dari sudut pandang seorang Yahudi. Dan saya pun melanjutkan argumen itu: “Mengapa saya harus datang kepada Anak? Bukankah Bapa itu lebih tinggi daripada Anak?”
Semakin saya membuat alasan, semakin buruk perasaan saya, dan saya menjadi sangat kacau. Di satu sudut ruangan, tergeletak phylacteries saya, yang masih memiliki pengaruh magnetis kepada saya; secara otomatis, saya tertarik ke arahnya, dan dengan terpaksa berlutut kembali, tapi saya tidak bisa mengucapkan apa-apa. Hati saya sakit, karena saya memiliki keinginan sungguh-sungguh untuk mengenal Yesus jika Ia memang adalah Mesias. Saya mengubah posisi terus menerus, dari berlutut kemudian berjalan bolak balik di ruangan, dari jam sepuluh kurang seperempat hingga jam dua kurang lima dini hari. Pada saat itu, seberkas sinar mulai timbul di pikiran saya, dan saya mulai merasa dan mempercayai dalam jiwa saya bahwa Yesus Kristus memang benar-benar Mesias yang sejati. Tidak lama setelah menyadari hal ini, untuk terakhir kalinya pada malam itu, saya berlutut; tapi kali ini keraguan saya telah lenyap, dan saya pun mulai memuji Tuhan, untuk sukacita dan kebahagiaan besar yang merasuk jiwa saya, yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Saya tahu saya telah ditobatkan, dan bahwa Tuhan, demi Kristus, telah mengampuni dosa saya. Sekarang saya merasa bahwa bersunat atau tidak bersunat tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru, itulah yang ada artinya.
Dengan sukacita yang tak terkatakan, saya bangkit berdiri, dan dalam kebahagiaan yang baru saja saya rasakan, saya berpikir bahwa istri saya yang tercinta akan turut merasakan sukacita saya ketika saya memberitahunya perubahan besar yang melanda saya. Dengan memikirkan hal itu, saya bergegas keluar dari ruang belajar ke kamar tidur (di mana istri saya telah beristirahat, meskipun lampu belum dimatikan); saya memeluk lehernya dan mulai menciumnya dengan bersemangat dan mengatakan:
“Istriku, aku telah menemukan sang Mesias.”
Ia tampak terganggu, mendorong saya menjauh, dan dengan dingin bertanya, “Menemukan siapa?”
“Yesus Kristus, Mesiasku dan Juruselamat,” jawab saya segera.
Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi dalam waktu kurang dari lima menit, ia telah berganti pakaian, dan meninggalkan rumah, meskipun saat itu baru jam dua subuh dan udara sangat dingin menusuk, kemudian menyeberangi jalan ke rumah orang tuanya, yang tinggal di seberang rumah kami. Saya tidak menyusulnya, tetapi berlutut, meminta Juruselamat yang baru saja saya temukan agar istri saya juga dapat dibukakan matanya, dan setelah itu saya jatuh tertidur.
Pagi harinya, istri saya yang malang diberitahu orang tuanya bahwa, jika ia memanggil saya suami lagi, maka hak warisnya akan dicabut, ia akan dikucilkan dari sinagog dan dikutuk. Di waktu yang sama, kedua anak saya pun diambil oleh kakek dan nenek mereka, dan mereka dilarang untuk memanggil saya ayah lagi; bahwa dengan berdoa kepada Yesus sang “Penipu”, maka saya sama buruk dan jahatnya seperti Ia.
Lima hari setelah pertobatan, saya menerima perintah dari kantor para ahli bedah di Washington untuk pergi ke daerah barat untuk urusan pemerintah. Saya mencoba segala cara dengan kekuatan saya untuk dapat berkomunikasi secara pribadi dengan istri saya dan mengucapkan salam perpisahan kepadanya, tetapi ia tidak mau melihat saya juga menulis surat untuk saya. Walaupun demikian, ia mengirim pesan kepada saya melalui seorang tetangga yang isinya, selama saya masih memanggil Yesus Kristus sebagai Juruselamat saya, maka saya tidak boleh memanggilnya istri saya, karena ia tidak mau hidup dengan saya. Saya tidak mengira akan menerima pesan seperti itu dari istri saya karena saya sangat mencintai dia dan juga anak-anak. Dan dengan hati sedih, saya meninggalkan rumah pagi itu untuk melakukan perjalanan tugas sejauh 1.300 mil, tanpa bisa melihat istri dan anak-anak saya.
Selama 44 hari istri saya tidak menjawab satu pun surat yang saya kirimkan, meskipun saya menulis satu surat untuknya setiap hari; dan setiap satu surat dikirim, saya berdoa kepada Tuhan agar Ia mau menggerakkan hati istri saya untuk membaca setidaknya satu saja surat. Saya merasa jika ia mau membaca satu saja surat yang saya tulis (Kristus selalu diberitakan di setiap surat itu), maka ia akan mau mempertimbangkan apa yang telah ia katakan dan lakukan sebelum saya meninggalkan rumah.
Peristiwa yang terjadi selanjutnya membuat lirik lagu yang digubah oleh Cowper menjadi sangat pas bagi saya, “Tuhan bekerja dengan cara yang misterius,” karena melalui ketidakpatuhan putri sayalah maka istri saya dapat bertobat. Putri saya adalah anak bungsu dari dua anak saya, dan ia adalah kesayangan ayahnya. Setelah pertobatan saya, kewajibannya kepada ibunya di satu sisi dan kasihnya kepada ayahnya di sisi lain membuat pikirannya terus menerus gelisah.
Pada malam yang ke-53 setelah saya bertobat, putri saya bermimpi melihat ayahnya meninggal sehingga ketakutan menyelimutinya, dan ia pun bertekad tidak akan membiarkan surat ayahnya yang berikutnya hancur. Keesokan paginya, tukang pos membawa surat dengan tulisan tangan yang dikenalnya (putri saya telah menunggu kedatangan tukang pos di depan pintu). Begitu surat itu diserahkan, ia cepat-cepat menyelipkannya dan berlari ke atas ke kamarnya, mengunci pintu dan membuka surat itu. Ia pun mulai membacanya, dan kembali membacanya hingga tiga kali sebelum akhirnya meletakkannya. Surat itu membuat hatinya sangat sedih, sehingga ketika ia turun ke bawah, ibunya melihatnya masih menangis, dan ibunya bertanya kepadanya apa yang menyebabkan ia bersedih. “Ibu, jika aku memberitahumu, engkau akan marah, tapi jika engkau berjanji engkau tidak akan marah, maka aku akan memberitahumu.”
“Apakah itu, anakku?” tanya ibunya.
Mengambil surat itu yang ia sembunyikan, ia memberi tahu ibunya tentang mimpinya tadi malam dan menambahkan: “Aku telah membuka surat papa tadi pagi, dan kini aku tidak bisa percaya apa yang kakek dan nenek atau orang lain katakan tentang papaku telah berubah menjadi orang yang jahat, karena orang jahat tidak mungkin dapat menulis surat seperti ini kepada istri dan anak-anaknya. Aku mohon agar ibu mau membaca surat ini.” Ia lalu menyerahkan surat itu kepada ibunya.
Istri saya mengambil surat itu dan membawanya ke ruangan sebelah dan menguncinya di dalam mejanya. Siang itu ia mengunci dirinya di dalam ruangan, dan membuka meja lalu mengambil surat saya dan mulai membacanya. Semakin ia membaca, semakin buruk perasaannya. Di kemudian hari ia mengatakan kepada saya bahwa ia membacanya hingga lima kali.
Setelah membaca surat itu untuk terakhir kalinya, istri saya mengembalikannya ke meja, dan keluar ruangan. Matanya berlinangan air mata, dan kali ini giliran putri saya yang berbalik bertanya, “Ibu, mengapa engkau menangis?”
“Anakku, hati ibu sakit,” adalah jawabannya; “Ibu ingin berbaring dulu.” Kemudian pelayan membuatkannya secangkir teh, berpikir bahwa hanya itu yang ia butuhkan untuk menghilangkan sakit hati yang ia keluhkan. Akan tetapi secangkir teh tidak dapat menyembuhkan istri saya yang malang. Setelah beberapa lama, ibu dari istri saya datang menyeberang ke rumah kami. Berpikir bahwa istri saya jatuh sakit, ia membuatkan obat rumahan sederhana seperti yang biasa ia buat. Tapi ini pun tidak berhasil memberikan kesembuhan. Kira-kira jam setengah delapan malam, ibu mertua saya meminta Dr. R_____ untuk datang ke rumah, dan ia memberikan obat untuk istri saya, namun obatnya pun gagal menghilangkan sakit hati yang dikeluhkan istri saya itu.
Ibu mertua saya tetap tinggal di rumah kami pada malam itu, menemani istri saya hingga jam sebelas lewat seperempat. Di kemudian hari saya mendengar bahwa sebenarnya istri saya menginginkan ibunya meninggalkan kamar, karena ia telah bertekad untuk berdoa sembari berlutut seperti yang telah saya lakukan, segera setelah ibunya pergi. Tak lama kemudian, ibunya pun pergi, dan istri saya mengunci pintu dan berlutut di sisi ranjangnya dan dalam waktu kurang dari dua menit, Kristus, Tabib Agung itu menemuinya, menyembuhkannya dan menobatkannya.
Esok paginya, saya menerima telegram yang bunyinya sebagai berikut:
“Kepada Suamiku: Pulanglah ke rumah secepatnya; Dulu aku berpikir bahwa engkaulah yang salah dan akulah yang benar, namun kini aku baru menyadari bahwa engkau yang benar dan aku yang salah. Kristusmu adalah Mesiasku, Yesusmu adalah Juruselamatku. Tadi malam jam sebelas lewat sembilan belas menit, ketika aku berlutut berdoa untuk pertama kalinya dalam hidupku, Tuhan Yesus menobatkan jiwaku. ”
Setelah membaca telegram itu, seketika saya merasa tidak peduli lagi dengan tugas saya. Saya meninggalkan urusan saya yang belum tuntas, dan mengambil kereta cepat pertama menuju Washington. Pada waktu itu rumah saya sangat dikenal di sana, terutama di kalangan orang Yahudi (karena saya sering menyanyi di sinagog), saya tidak ingin membuat sensasi sehingga saya mengirim telegram kepada istri saya untuk tidak menemui saya di stasiun, karena saya akan naik kendaraan begitu tiba di Washington dan berkendara dengan diam-diam ke rumah.
Ketika saya tiba di depan rumah, istri saya sudah berdiri di depan pintu menunggu saya. Wajahnya bersinar dengan sukacita. Ia berlari ke arah saya begitu saya turun dari kendaraan, memeluk serta mencium saya. Ayah dan ibunya juga berdiri depan pintu mereka yang terbuka di seberang saya, dan ketika mereka melihat kami berpelukan, mereka mulai mengutuki saya dan istri saya.
Sepuluh hari setelah istri saya memberikan hatinya kepada Kristus, putri saya juga bertobat. Sekarang ia adalah istri dari seorang pendeta Kristen, bekerja bersama suaminya di kebun anggur Kristus.
Putra saya, dijanjikan oleh kakek neneknya, bahwa jika ia tidak pernah memanggil saya “ayah”, atau istri saya “ibu” lagi, maka mereka akan mewariskan seluruh properti mereka kepadanya, dan sejauh ini ia memegang janjinya. Setahun dan sembilan bulan setelah pertobatannya, istri saya meninggal dunia. Keinginan terakhirnya, sebelum ia meninggal adalah melihat putranya yang tinggal dengan jarak tujuh menit jalan kaki dari rumah kami. Saya berulang-ulang mendatanginya, memohonnya untuk datang dan melihat ibunya yang sedang sekarat. Salah satu pendeta di kota bersama istrinya secara pribadi menemui putra saya dan mencoba membujuknya untuk mengabulkan permintaan ibunya yang sedang sekarat, namun jawabannya hanyalah: “Terkutuklah ia! Biarkan ia mati; ia bukan lagi ibuku.”
Pada Kamis pagi (hari kematiannya), istri saya meminta saya untuk mendatangkan sebanyak mungkin anggota jemaat gereja tempat kami beribadah, untuk bersama-sama dengannya pada saat-saat terakhirnya. Jam setengah sebelas ia meminta Nyonya Ryle, istri pendeta yang merupakan sahabat terbaiknya untuk menggenggam tangan kirinya, dan agar semua wanita di ruangan untuk saling berpegangan tangan dengan Nyonya Ryle. Saya berdiri di sisi ranjang yang lain dan memegang tangan kanannya, dan para pria berpegangan tangan dengan saya, dan istri saya meminta kami membentuk lingkaran, kami berjumlah sekitar tiga puluh delapan orang, dan kemudian kami menyanyi:
“Yesus kekasih jiwaku,
Biarkan aku terbang ke dadaMu,”
Dengan sangat lembut, kami mulai menyanyi,
“Engkau, Oh Kristus, adalah satu-satunya yang kuinginkan”
Istri saya dengan suara yang lemah namun jelas berkata, “Ya, hanya itu yang kuinginkan, dan itulah yang kudapat; datanglah Yesus yang terkasih, bawa aku pulang.” Dan kemudian ia pun pergi. Putra saya tidak datang ke pemakaman, dan sejauh yang saya tahu, ia juga tidak pernah mengunjungi makam ibunya; ia juga tidak memanggil saya “ayah”, ataupun membalas surat manapun yang saya kirimkan sejak saya bertobat, meskipun saya telah tiga kali melintasi samudra Atlantik, dari Amerika ke Jerman, berusaha menemuinya untuk berdamai, namun saya selalu gagal, karena ia tidak mau bertemu dengan saya. Namun demikian, hal ini membuat saya semakin tekun berdoa untuknya, agar ia juga dapat dibebaskan dari ikatan prasangka buruk orang Yahudi, dan di dalam Yesus, “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia.” Kunjungan saya yang keempat ke Jerman pada bulan Juli, 1887, telah menguatkan dan meneguhkan iman saya, karena bukan hanya putra saya bersedia bertemu dengan saya, namun ia juga menangis dengan sangat sedih ketika mengingat masa lalu, dan dengan seketika mengumumkan tekadnya untuk mengunjungi adiknya yang terkasih di Amerika.
Saya menulis surat kepada ibu saya yang tinggal di Jerman, segera setelah pertobatan saya. Saya menceritakan kepadanya bagaimana saya telah menemukan Mesias yang sejati. Saya tidak dapat menahan kabar baik ini darinya, dan dalam hati saya mengira bahwa ia akan mempercayai anaknya yang sulung dari 14 anaknya. Dan saya dapat mengatakan bahwa kerinduan hati saya yang pertama setelah pertobatan adalah berbagi sukacita yang baru saya temukan ini dengan semua teman saya, baik itu orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Saya merasakan apa yang dirasakan oleh Pemazmur ketika ia menulis, “Marilah, dengarlah, hai kamu sekalian yang takut akan Allah, aku hendak menceritakan apa yang dilakukan-Nya terhadap diriku.“ Harapan tersebut, ternyata dipatahkan dengan sangat ketika ibu saya menuliskan satu surat untuk saya (jika kutukan dapat disebut sebagai surat), membenarkan kecurigaan saya bahwa jika ia mau membalas surat itu, maka yang dituliskannya pastilah kutukan yang akan diterima oleh semua orang Yahudi dari keluarga terdekat mereka ketika mereka menjadi seorang Kristen. Kecurigaan itu menjadi kenyataan setelah lima setengah bulan berlalu tanpa surat dari ibu saya,–sebelum saya bertobat, ibu saya mengirimkan saya surat sebulan sekali.
Suatu pagi, ketika tukang pos datang mengantarkan surat-surat bagi saya, saya melihat ada satu di antara surat-surat itu yang tertempel perangko Jerman, dengan tulisan tangan yang familiar dari ibu saya. Segera sesudah melihat surat itu, saya berkata kepada istri saya yang ada di ruangan yang sama, “Istriku, akhirnya surat itu datang.”
Saya segera membuka surat itu. Tidak ada kepala surat, tidak ada tanggal tidak ada kata-kata “Anakku yang terkasih” seperti pada surat-suratnya sebelumnya, namun yang tertera adalah kata-kata ini:
“Max: Engkau bukan lagi anakku; kami telah menguburmu; kami meratapimu sebagai seseorang yang telah meninggal. Dan sekarang semoga Allah Abraham, Ishak dan Yakub membuatmu buta, tuli dan bodoh dan menghukum jiwamu selamanya. Kau telah meninggalkan agama ayahmu dan sinagog untuk Yesus, si ‘Penipu’ itu, dan sekarang terimalah kutukan ibumu. Clara.”
Meskipun hingga saat itu saya telah memperhitungkan sepenuhnya harga yang harus saya bayar untuk merangkul agama Yesus Kristus, dan mengetahui apa yang akan saya terima dari kerabat saya karena saya telah berpaling dari sinagog, namun saya mengakui bahwa saya tidak menyangka akan menerima surat seperti itu dari ibu saya. Namun demikian, istri saya yang terkasih dan saya kini dapat lebih bersimpati satu sama lain dalam kehidupan keagamaan kami yang baru; karena seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, orangtuanya telah mengutuknya di depannya karena mempercayai Kristus. Tapi tidak semuanya merupakan kesedihan, karena belum pernah sebelumnya kata-kata Pemazmur tampak begitu bermakna dan memberi dorongan bagi kami berdua: “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.”
Jangan ada orang yang berpikir bahwa adalah mudah bagi seorang Yahudi untuk menjadi seorang Kristen. Ia harus siap meninggalkan ayah, ibu, dan istrinya demi Kerajaan Allah; itu semua harus dihadapi oleh setiap orang Yahudi yang dicurigai sedang tertarik pada Kekristenan.
Saya membalas surat ibu saya beberapa hari kemudian dengan kata-kata berikut ini:
Jawaban untuk Kutukan Ibuku
“Aku berada jauh dari rumah, ibuku,
Setiap hari aku berdoa untukmu;
Mengapakah aku harus dikutuk, ibuku?
Mengapa pesan seperti itu yang dituliskan untukku?
Begitu disadarkan atas dosa, ibuku,
Aku berseru, ‘Yesus, bebaskan aku!’
Aku bahagia sekarang, ibuku
Kristus, orang Yahudi itu telah mati bagiku.
Ia yang kau ajarkan untuk dibenci, ibuku,
Ia yang kau sebut sebagai ‘Penipu’
Mati bagiku di Kayu Salib, ibu,
Mati untuk menyelamatkanku dari kejatuhan
Biarkan aku memimpinmu kepadaNya, ibu,
Ketika aku berdoa dengan berlutut:
‘Yesus, terimalah ibuku sekarang;
Yesus yang penuh kasih, bebaskan dia.’
“Semoga ibu tergerak oleh Dia
Jangan keraskan hatimu.
Yesus Kristus, Mesias orang Yahudi
Telah mati bagimu dan bagiku.
Dapatkah engkau menolak kemurahan seperti itu, ibu?
Dapatkah engkau memalingkan wajahmu?
Datanglah kepada Yesus, datang, ibuku yang terkasih
Terbang, oh, terbanglah ke pelukanNya!
Meskipun ia tidak pernah membalas surat itu, saya diberitahu bahwa kata terakhir yang ia ucapkan di saat-saat terakhirnya adalah nama saya, “Max”.
Masih ada lanjutan dari kisah anak laki-laki penabuh drum, Charlie Coulson:
Kira-kira 18 bulan setelah pertobatan saya, saya menghadiri pertemuan doa di kota Brooklyn. Itu adalah satu pertemuan dimana orang Kristen bersaksi tentang kasih kebaikan Juruselamat mereka. Setelah beberapa orang berbicara, seorang wanita paruh baya bangkit dan berkata, “Sahabat-sahabatku, mungkin ini adalah terakhir kalinya aku dapat bersaksi untuk Kristus. Keluargaku yang seorang dokter kemarin berkata bahwa paru-paru kananku hampir tidak berfungsi, dan paru-paru kiriku juga demikian, jadi aku memiliki waktu yang sangat singkat untuk bersama dengan kalian, tapi semua milikku adalah milik Yesus. Oh! Betapa sukacita besar mengetahui bahwa aku akan bertemu dengan anakku bersama dengan Yesus di surga. Anakku bukan hanya prajurit bagi negaranya, tapi ia juga adalah prajurit untuk Kristus. Ia terluka di pertempuran di Gettysburg, dan ditangani oleh seorang dokter Yahudi yang mengamputasi tangan dan kakinya, tetapi anakku meninggal lima hari setelah operasi itu. Pendeta di resimen itu mengirimkanku surat beserta alkitab anakku. Dalam surat itu aku diberitahu bahwa Charlieku, di saat-saat terakhirnya, memanggil dokter yang mengoperasinya dan berkata kepadanya, ‘Dokter, sebelum saya meninggal, saya ingin memberitahu Anda bahwa lima hari lalu, ketika Anda mengamputasi lengan dan kaki saya, saya berdoa kepada Tuhan Yesus Kristus agar ia menobatkan jiwa Anda. ’
Ketika saya mendengar kesaksian ibu ini, saya tidak bisa duduk diam lagi. Saya meninggalkan kursi saya, menyeberangi ruangan dan menggenggam tangan ibu itu dan berkata, “Tuhan memberkati Anda, saudariku. Doa anakmu telah terjawab. Sayalah dokter Yahudi yang didoakan oleh Charlie anakmu, dan Juruselamatnya sekarang adalah Juruselamat saya.”
Juga dengan sukacita besar dan rasa bersyukur saya mencatat pertobatan putra saya yang terkasih: saya sangat percaya bahwa Yesus lah yang telah membuat hatinya merasa gundah beberapa hari sebelum pertemuan kami di bulan Juli 1887. Untuk pertama kalinya dalam empat belas tahun, ia memanggil saya “ayah”; ia menangis dengan sangat sedih ketika kami bertemu, dan tampaknya, jiwanya rindu untuk bertemu adiknya lagi. Hati saya melompat kegirangan ketika mendengar hal ini, karena saya tahu jika ia berada bersama adiknya (seorang Kristen yang setia di Amerika), maka ia berada di tangan yang tepat. Ia pun berangkat ke Amerika, dimana ia berjumpa dengan adiknya, pada Senin siang, 15 Agustus. Pada hari Jumat, putra saya meminta adiknya mengantarnya ke makam ibunya.
Hari Jumat 29 Agustus, kembali ia mengunjung makam ibunya (tapi kali ini sendirian), dan sementara di sana, Tuhan dalam kemurahanNya, demi Kristus, mengampuni dosanya dan menobatkan jiwanya.
Ia pulang ke rumah dan memberitahu adiknya kabar baik itu, dan menulis surat kepada saya di malam yang sama.
Dan sekarang, dalam penutupan, saya dengan sungguh berdoa agar Tuhan memperpanjang umur saya, agar saya diijinkan untuk mendengar putra saya mengkhotbahkan injil tentang Juruselamat yang sudah sangat lama ia tolak.
Banyak orang bertanya kepada saya apakah semua detil cerita ini benar-benar terjadi. Dalam kesempatan ini saya menyatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi adalah benar adanya seperti yang dikisahkan.