Kepemilikan terhadap benda ini dapat mengakibatkan penyitaan dan denda di beberapa tempat. Hasil tes obat yang positif dapat mengakibatkan anda kehilangan pekerjaan. Di beberapa Negara, anda dapat dipenjara atau bahkan di eksekusi mati. Tapi sekalipun ini di legalkan untuk alasan kesenangan, apakah orang Kristen dapat menggunakan ganja? Leah Allen (nama samaran) penulis dari Inggris dalam artikelnya “ ayahku tidak akan pernah berhenti menghisap hookah (alat penghisap ganja),” menceritakan tentang tumbuh bersama seorang ayah yang secara teratur menggunakan ganja. Dia menceritakan bagaimana canggungnya ia ketika harus menjawab mengenai apa pekerjaan ayahnya. “dia adalah seorang penghisap hookah beraliran hippie,” adalah jawaban yang paling mudah yang dapat dia berikan. Ketika dia mendengar berbagai diskusi mengenai melegalkan obat-obatan terlarang, dia berkata bahwa baginya semua akan kembali kepada hal yang sama : “ayah, ayah, ayah. Elemen keluarga hampir hilang dari diskusi tersebut: apa yang dilakukan oleh ganja, tidak hanya kepada penggunanya tetapi juga anak-anaknya?” [1]
Kepemilikan cannabis (sejenis ganja) dilarang di sebagian besar negara. Aturan pertama yang menentang “mariyuana” di Amerika Serikat muncul di tahun 1930 ketika Franklin D. Roosevelt menciptakan biro narkotik federal dan menyusun “Undang-undang pajak Mariyuana tahun 1937).” Perluasan “hookah” (red:sejenis alat untuk menghisap ganja) datang bersamaan dengan perlawanan budaya di akhir tahun 1960 an. Lalu, pada 6 November 2012, Prakarsa Washington 502 dan Amandemen Colorado 64 meloloskan perijinan penggunaan cannabis untuk tujuan rekreasi dibawah hukum negara bagian. Uruguay adalah Negara pertama di dunia yang melegalkan produksi, perdagangan dan penggunaan ganja.
Salah satu argument yang digunakan untuk melegalkan ganja adalah pengurangan semua biaya yang di asosasikan dengan semua biaya yang terkait dengan perdagangan illegal. Sebuah polling di tahun 1969 menunjukkan bahwa 16% pemberi suara memilih untuk melegalkan ganja. Pada tahun 2005, prosentase tersebut meningkat menjadi 36% dan di tahun 2009 meningkat pesat hingga 50%. Sebuah penelitian memperkirakan bahwa 15 milyar dolar ganja di jual setiap tahunnya di California. Pajak tersebut dapat memberikan 1,3 milyar dolar keuntungan bagi negara. [2]
Sementara penelitian yang lebih mendetail telah dilakukan mengenai efek ganja pada tubuh manusia, pada kenyataanya hati banyak keluarga telah tercabik. Cerita seperti Leah menceritakan tidak hadirnya seorang ayah yang terlibat dalam program sekolah anak-anak, kelalaian orang tua yang tidak menyediakan makanan yang pantas untuk anaknya, dan pasangan yang secara emosional dan mental “di tinggalkan” dan tidak pernah terhubung. Mereka melihat ganja sebagai jawaban untuk stres, kegelisahan, rasa sakit dan bahkan keadaan medis sebagai ganti Kristus.
Ketika seorang Kristen kewalahan dengan berbagai masalah, kita memiliki Juruselamat tempatkita berpaling. Melegalkan “hookah” tak akan pernah memuaskan kerinduan terdalam dari hati. Paulus meningatkan, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Roma 8:38-39).
Mencari jawaban dalam ganja hanya memecah hubungan keluarga kita dan ternyata menjebak kita. Mendidik kita hidup untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Hidup kita menjadi terfokus pada pukulan berikutnya, tidak mengasihi orang lain, terutama pasangan dan anak-anak kita. Hanya Yesus yang bisa memberi kita damai yang memenuhi kita dengan hati yang tulus untuk keluarga kita.
Leah menulis, “Dalam masa pertumbuhan, aku membenci ayah saya yang merokok. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang tua dengan masalah penyalahgunaan zat dapat menyebabkan kesulitan ekonomi, masalah hukum, gangguan emosi, dan keterikatan yang mengganggu dalam keluarga mereka. Anak-anak cenderung untuk merespon dengan kecemasan, depresi, rasa bersalah, malu, kesepian, bingung, marah, dan takut. “Dia menyimpulkan,” Ayah saya tidak akan pernah berhenti mengisap ganja. Kadang-kadang aku bertanya-tanya dia akan menjadi orang seperti apa, dan kehidupan seperti apa yang mungkin kita miliki, jika ia tidak pernah memulainya. “[3]