“Sesudah Esau mendengar perkataan ayahnya itu, meraung-raunglah ia dengan sangat keras dalam kepedihan hatinya serta berkata kepada ayahnya: “Berkatilah aku ini juga, ya bapa!”” (Kejadian 27:34).
Tangisan memilukan dari Esau terus bergema sepanjang abad. Itu adalah tangisan permohonan dari anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan yang merindukan persetujuan dari orang tuanya.
Menghadapi hal semacam itu, kita tidak akan mengharapkan tangisan Esau. Keistimewaannya, dia datang dari keluarga yang berbakti kepada Allah dan cinta dipertunjukkan. Ayahnya, Ishak, adalah seorang pria yang takut akan Allah, yang mencintai Ribka, istrinya (Kejadian 24:67). Pasangan itu telah menunggu lama untuk mendapatkan anak-anak, dan kebetulan hanya mendapatkan dua orang anak saja—si kembar, Esau dan Yakub. Ini adalah sebuah rumah tangga, di mana anak-anak yang dilahirkan itu adalah anak-anak yang memang diharapkan kelahirannya, diterima dengan gembira dan dicintai.
Selanjutnya, gambaran tentang Esau yang kita dapat dari Alkitab adalah bahwa dia merupakan seorang pribadi yang kuat dan puas diri. Dia “menjadi seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang” (Kejadian 25:27). Kita tentu tidak akan mengharapkan seorang lelaki semacam ini akan dapat mencucurkan air mata.
Tetapi rumah tangga itu sangat jauh dari contoh yang seharusnya. Orang tuanya memiliki anak kesayangan masing-masing. Ishak mencintai Esau, tetapi Ribka mencintai Yakub. Dan tentu saja kedua anak itu mengetahuinya. Demikian Esau, karena semua keterusterangan dan perbedaan emosinya, merasa sangat tidak aman. Ketika Yakub menipu Ishak untuk mendapatkan berkat kesulungan—suatu berkat yang seharusnya kepada Esau—Esau meratap. Sebelumnya Esau telah memperlakukan berkat itu dengan cara meremehkan, membiarkannya lepas demi sepiring sup kacang merah; tetapi sekarang karena melihat adiknya mendapatkan berkat itu, dia menangis mendambakan berkatnya sendiri.
Membesarkan anak-anak merupakan pendidikan tersendiri bagi para orang tua. Sementara mereka belajar, kita sendiri secara terus-menerus harus lebih banyak belajar tentang diri kita sendiri. Kita akan merasa heran betapa berbedanya satu anak dari anak yang lainnya. Dan ketika mereka bertumbuh menjadi dewasa, kita akan keheranan melihat betapa beragamnya perspektif-perspektif pertumbuhan dalam keluarga.
Di dalam setiap diri kita, genangan air mata mulai mengumpul pada usia muda. Bahkan kebaikan keluarga dapat dipatahkan oleh dosa, dan anak-anak mendeteksi melalui kata-kata dan perbuatan yang menunjukkan bahwa adik-adik kecil lebih dicintai dari dirinya sendiri. Genangan air mata terus bertumbuh secara diam-diam. Dan ketika air mata itu meledak secara terbuka dalam tahun-tahun kedewasaannya, maka hal itu akan mengherankan orang tuanya dan anggota keluarga yang lainnya.
Namun kasih karunia membuatnya berbeda. Kasih karunia menjamin bahwa Allah mencintai dan menerima kita semua, dan akan menolong kita untuk menunjukkan persetujuan kita. Melalui ucapan hiburan, pelukan, perhatian kecil, kita meneruskan berkat-berkat Allah.