“Engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan” (Yesaya 58:11).
Cerita dari Alkitab menyebutkan tentang dua taman. Di dalam taman yang pertama—sebuah taman yang sempurna, tanpa semak belukar, tanpa hama, atau kutu-kutu, di mana tidak ada hewan atau kelinci-kelinci yang merusak—di situlah kedua orang tua kita yang pertama jatuh. Mereka berbalik dari rencana Allah akan kehidupan dan kebahagiaan, dan menyerah kepada bujukan si penggoda.
Malam menutupi taman itu. Kematian dan kemerosotan menyerbu masuk dengan erangan. Di dalam kepedihan mereka keluar dari taman untuk menghadapi suatu kehidupan yang dipenuhi dengan petualangan dan perjuangan.
Namun apa yang hilang dari mereka telah dimenangkan kembali di taman yang lain. Pada suatu hari Kamis malam ketika bulan sedang purnama, Seseorang tengah berjuang dengan masa depan. Beban kesengsaraan yang ditumpuk dari sejak kejatuhan di taman pertama ditanggungkan ke atas-Nya. Dalam keputusasaan-Nya Dia berdoa tiga meminta agar Bapa mau membebaskan-Nya dari tanggung jawab ini: “Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, cawan ini lalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39). Begitu menekan beban yang ditanggung-Nya sehingga keringat-Nya meneteskan tetesan-tetesan darah ke atas tanah (Lukas 22:44). Sementara itu murid-murid-Nya tertidur.
Malam itu, di Taman Getsemani, ada kasih yang sangat besar. Yesus mengambil cawan pahit itu dan meminumnya. Jadi Dia membuat taman baru, taman kasih karunia.
Ibu saya mempunyai sebuah tempat yang dinamai “green thumb.” Taman itu menjadi tempat yang paling disukainya. Tempat itu tidak luas, tetapi indah, dengan serangkaian tanam-tanaman yang tumbuh pada musimnya; dengan halaman yang ditumbuhi rumput tebal dan dipotong dengan rapi; dengan tanaman pagar ataupun yang merambat; dengan bunga-bunga yang menyejukkan hati, dan yang lain berkembang di bawah keteduhan.
Sesudah beberapa tahun saya mulai menerima berkat yang sama di dalam tamanku sendiri. Sesuai dengan nasihat Ellen White, semuanya memungkinkan di sana, tetapi saya tidak pernah bersungguh-sungguh memperhatikannya. Ada tempat untuk mengerjakan tanah, untuk bercocok tanam, mengairi, dan menyiangi; untuk memperhatikan bagaimana benih menumbuhkan tunas-tunas dan putik yang membuka sepanjang tanah—betapa memuaskan! Itulah terapi untuk otot-otot dan pikiran! Itulah jalan kembali kepada kesederhanaan.
Kasih karunia itu sama seperti sebuah taman. Taman itu dipenuhi dengan tunas-tunas yang indah dan aroma yang harum, dengan warna-warni yang menarik, membuat burung-burung dan kupu-kupu menghinggapinya. Semua pameran yang mewah ini, hanya untuk menggembirakan kita. Keragaman yang tidak pernah berakhir, keajaiban yang tidak akan berakhir.
Sama seperti kasih karunia.