“Tuhan ALLAH telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.” (Yesaya 50:4).
Betapa seringnya kata-kata kita menghalangi jalannya rencana Allah. Pedasnya kata-kata yang tajam, sindiran cerdik yang menyengat, ejekan yang jahat—kita jatuh dan jatuh lagi. Tidak heran Rasul Yakobus mengatakan kepada kita bahwa jika ada seseorang yang tidak pernah tersandung dengan kata-katanya, maka orang itu adalah orang yang sempurna (Yakobus 3:2).
“Anak-anak lelaki menerbangkan layang-layang dengan menarik burung-burung mereka yang bersayap putih itu. Anda tidak dapat melakukan hal seperti itu kalau Anda menerbangkan kata-kata,” tulis Will Carleton. Kata-kata kita keluar dari diri kita dan, sebanyak yang kita ingin menariknya, maka kata-kata itu telah keluar di luar kendali kita. Walau kemudian kita dapat meminta maaf, dapat mengoreksi kesalahan, kita telah melukai seseorang—mungkin seorang yang sangat kita cintai, dan goresannya tetap ada meskipun luka itu telah sembuh.
Tidak demikian dengan Yesus. Kata-kata-Nya membawa harapan dan kesembuhan. Kata-kata-Nya mengangkat pendengar-Nya; kata-kata-Nya tidak pernah menyebabkan ketakutan. Kata-kata yang memberikan dorongan. Kata-kata yang memberikan inspirasi. Kata-kata yang memberikan motivasi.
“Juruselamat tidak pernah memaksakan kebenaran itu, tetapi Ia mengucapkannya selalu dengan kasih,” tulis Ellen White. “Dalam pergaulan-Nya dengan orang lain, Ia menggunakan kebijaksanaan yang paling agung, dengan selalu ramah dan penuh pertimbangan. Ia tidak pernah kasar, tidak pernah mengucapkan suatu perkataan dengan keras dan sia-sia, tidak pernah melukai jiwa yang peka. Ia tidak mengecam kelemahan manusia. Dengan tidak gentar Ia menegur kemunafikan. Ketidakpercayaan, dan kejahatan, tetapi dengan air mata Ia mengucapkan teguran-Nya yang pedas. Ia tidak pernah membuat kebenaran kejam, tetapi selalu menyatakan suatu kelemahlembutan yang dalam untuk manusia. Setiap jiwa indah pada pemandangan-Nya. Ia menampilkan diri-Nya dengan keagungan Ilahi; namun Ia tunduk dengan kasih sayang yang paling lembut dan menghormati setiap anggota keluarga Allah. Ia melihat pada semua orang, jiwa-jiwa yang menjadi tujuan tugas penyelamatan yang diadakan-Nya. (Pelayanan Injil, hlm. 102).
Bagaimana mungkin Yesus sanggup memelihara kelembutan dan belas kasih di tengah-tengah tekanan yang sedemikian hebat dari misi-Nya? Yesaya mengatakan kepada kita: Setiap pagi Yesus bangun untuk mendengarkan perintah dari Bapa. Dia berbalik untuk mendekat kepada Allah dan menjauh dari diri-Nya sendiri. Dia keluar untuk menghadapi setiap hari yang baru yang dibentengi dengan kebijaksanaan yang agung.
Dan alangkah berbeda jadinya!