Dalam artikel Malam Terakhir (1) kita telah melihat bahwa ada bahaya yang sangat besar ketika para murid Yesus gagal untuk mengerti misi dan pekerjaan Yesus ketika datang ke bumi dua ribu tahun silam. Ketika mereka berpikir bahwa Kristus akan mendirikan kerajaan-Nya di dunia ini membuat mereka saling berlomba untuk menjadi yang terbaik, dengan suatu harapan bahwa mereka akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi dalam dari rekan-rekannya jika Yesus mendirikan kerajaan-Nya di dunia.
Semuanya itu begitu terlihat di malam terakhir sebelum Yesus ditangkap dan disalibkan. Di tengah-tengah beban Guru mereka yang begitu besar menanggung dosa dunia, mereka bertengkar untuk membahas mengenai siapakah yang terbaik dari antara mereka.
Para murid melakukan kesalahan karena tidak mengerti misi dan pekerjaan Yesus dua ribu tahun silam di duni ini. Dan kita juga bisa melakukan kesalahan dan bahaya yang sama jika tidak mengerti pekerjaan Yesus sekarang dalam rencana keselamatan manusia. Apa itu? Bukankah pekerjaan Yesus untuk keselamatan manusia berakhir ketika Dia mati dan terangkat ke sorga? Tidak.
Setelah terangkat ke sorga Yesus melakukan pekerjaan sebagai Imam Besar di Bait Suci sorga. Terkhusus ketika berakhirnya nubuatan dua ribu tiga ratus hari (atau juga dua ribu tiga ratus tahun)—Daniel 8:14– pada tahun 1844 maka dimulaikannya masa penghakiman atau pengadilan pemeriksaan di sorga dan di sanalah Yesus berpindah untuk ke Bilik Maha Suci sorga dan menjadi pengantara atau pembela kita dan hakim yang adil dalam penghakiman sorga.
Di saat Tuhan kita menjadi pembela dan hakim dalam penghakiman bagi kita di sorga, maka bagian kita adalah menyelidik hati kita, lebih bersungguh-sungguh mengasihi Dia, memuliakan Dia melalui gaya hidup kita (entah lewat makanan, minuman, pakaian yang kita kenakan, tontonan kita, dll), dan sungguh-sungguh menyembah Dia sebagai Pencipta dan Penebus kita (dan dalam hal ini maka Sabat tidak bisa dipisahkan dalam penyembahan karena itu adalah tanda atau peringatan bahwa Tuhan-lah Pencipta, Penebus dan Juruselamat kita).
Perlu bagi kita untuk mengarahkan pandangan hanya kepada Yesus karena hanya Dia yang menjadi teladan akan sebuah kerendahan hati dan penyangkalan diri mengingat betapa sempurna hidup-Nya sebagai manusia dua ribu tahun silam.
Kembali kepada cerita perjamuan terakhir sebelum penangkapan dan penyaliban-Nya, di mana dalam dalam pertemuan itu para murid terlibat pertengkaran yang begitu mendukakan hati Guru mereka (Lukas 22:24 dan Yohanes 13). Melihat bagaimana murid-murid-Nya mempertengkarkan mengenai siapa yang terbaik dari antara mereka, kita akan melihat bagaimana Yesus memberikan teguran yang tak terucapkan yang begitu menempelak para murid.
Karena pertengkaran itu, para murid saling dipenuhi sakit hati antara satu dengan yang lain. Di depan mereka telah lengkap tempayan, baskom, dan handuk sudah ada, siap untuk pembasuhan kaki. Namun tak satupun dari antara para murid yang mau melakukannya. Setiap murid, sebab perasaannya telah dilukai, menentukan tidak mau melakukan tugas seorang hamba. Oleh bersikap diam mereka enggan merendahkan diri sendiri.
Dalam kondisi demikian, maka begitu sulit bagi Yesus untuk dapat menunjukkan bahwa hanya dengan mengaku sebagai murid tidak menjadikan mereka murid‑Nya, atau memastikan kepada mereka suatu tempat dalam kerajaan‑Nya.
Kita lihat apa yang selanjutnya Yesus lakukan. Yohanes 13:4, 5, “Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.”
Perbuatan ini membuka mata murid‑murid. Perasaan malu yang pahit dan perasaan kerendahan memenuhi hati mereka. Mereka mengerti teguran yang tidak diucapkan itu, dan melihat diri sendiri dalam suatu terang yang baru semata‑mata. Perbuatan Yesus ini sungguh menempelak para murid.
Demikianlah Kristus menyatakan kasih‑Nya bagi murid‑murid‑Nya. Roh mereka yang mementingkan diri memenuhi Dia dengan kesusahan, tetapi Ia tidak mau berbantah‑bantah dengan mereka mengenai kesulitan mereka. Sebagai gantinya, Ia memberi mereka suatu teladan yang tidak pernah akan mereka lupakan. Ia datang dari Allah, dan kembali kepada Allah. Ia menyadari benar‑benar akan keilahian‑Nya, tetapi Ia telah mengesampingkan mahkota kerajaan‑Nya dan jubah raja, dan telah mengambil rupa seorang hamba. Salah satu perbuatan hidup‑Nya yang terakhir di dunia ialah mengikat pinggang‑Nya sebagai seorang hamba, dan melakukan tugas seorang hamba.
Saudara, sekali lagi inilah yang Yesus lakukan: Dia menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya dan mengambil rupa dan melakukan pekerjaan seorang hamba di malam terakhir kehidupan-Nya di dunia ini dua ribu tahun silam.
Pelajaran apakah yang lebih mendalam ketika Yesus melepas jubah-Nya? Dalam perumpamaan anak yang hilang dikisahkan ketika anak itu menyadari kesalahannya, dia memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya. Dalam Lukas 15:20 dituliskan mengenai apa yang ayah itu lakukan ketika dia melihat dari kejauhanh kondisi anaknya yang sungguh memprihatinkan: “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.”
Dalam budaya orang Yahudi di zaman Yesus, seorang pria (terkhusus ketika dia seorang yang kaya) memakai jubah atau pakaian begitu besar dan terikat kuat pada tubuhnya sehingga mungkin saja membuatnya susah bergerak. Namun bagaimanapun juga jubah atau pakaian itu yang memberikan kesan bahwa dia seorang yang dihormati. Pakaian itu menunjukkan kemuliaannya.
Kembali ketika ayah dari anak yang hilang itu berlari untuk mendapatkan anaknya yang telah kembali. Mungkinkan ia dapat berlari dengan pakaian yang begitu membuatnya susah bergerak? Tidak. Yang dia lakukan pastinya adalah melepaskan ikatan pakaian itu lalu berlari mendapatkan puteranya. Dan ketika melihat anaknya dalam keadaan yang sungguh memperihatinkan dan berpakaian compang-camping, maka yang kemungkinan besar dilakukannya adalah melepaskan pakaiannya itu dan memakaikan pada tubuh puteranya dengan satu tujuan supaya para hamba dan tetangganya tidak melihat kondisi anaknya yang memprihatinkan. Demi keselamatan kita, Yesus telah meninggalkan sorga dan menanggalkan jubah kebesaran-Nya.
Ada satu kisah lagi yang yang dapat memberikan kita gambaran yang lebih mendalam ketika Yesus dalam kisah lain digambarkan harus melepaskan jubahnya.
Setelah menyadari dirinya telanjang akibat dosa yang dilakukannya, Adam dan Hawa “menyemat daun pohon ara dan membuat cawat” (Kejadian 3:7). Dapatkah cawat menutup ketelanjangan mereka dengan sempurna? Tentu saja tidak.
Menarik untuk mengetahui apa yang Tuhan lakukan untuk menolong Adam dan Hawa dalam menutupi ketelanjangan mereka. Dalam ayat 21 dikatakan: “Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.”
Dari ayat itu, apa yang Tuhan lakukan? Membuat pakaian dari kulit binatang. Dengan kata lain, sebelum Tuhan membuat pakaian dari kulit binatang itu maka sesungguhnya harus ada binatang yang mati. Bagi Adam dan Hawa ini adalah pertama kali mereka melihat kematian. Mereka melihat akibat yang begitu mengerikan karena perbuatan dosa mereka memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Bagi kita sekarang ini mendengar atau melihat kematian adalah hal yang biasa, namun bagi Adam dan Hawa adalah suatu peristiwa yang mengerikan karena sebelum itu mereka tidak pernah melihat kematian.
Bisa jadi Adam bertanya kepada Tuhan: “Apakah kami juga akan mati seperti binatang ini?” Lalu jawab Tuhan: “Kalian akan mati, tetapi akan hidup lagi kelak.” Mendengar kalimat pengharapan yang Tuhan ucapkan mereka gembira. Dan setelah mengucapkan itu, kemudian Tuhan menguliti kulit dari binatang itu dan membuatkan pakaian untuk Adam dan isterinya. Peristiwa menguliti ini tentunya juga sebuah pemandangan yang tak kalah mengerikannya dibandingkan kematian binatang itu.
Saudara tahu, dalam Perjanjian Lama setiap binatang (dalam hal ini biasanya adalah domba atau lembu) yang dikorbankan melambangkan siapa? Kristus yang akan mati di kayu salib. Adam, Hawa, dan seluruh malaikat mengerti apa arti kematian binatang itu dan kulitnya yang dikuliti untuk kemudian menjadi pakaian Adam dan Hawa. Itu melambangkan kematian Kristus, sehingga Yohanes Pembaptis menyebut Yesus sebagai “Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Dan tindakan Allah menguliti binatang itu melambangkan bagaimana jubah kemuliaan Yesus harus ditanggalkan untuk menutupi keberdosaan dan ketelanjangan manusia secara rohani. Dan ketika mati di kayu salib pun Yesus berada dalam keadaan sungguh-sungguh telanjang.
Melihat demonstrasi keselamatan yang Allah tunjukkan kepada Adam dan Hawa, pastilah membuat para malaikat terkejut. Dan bahkan mungkin juga setan. Setan mengetahui benar karakter Allah, namun dia tidak cukup mengenal siapa Allah.
Dia tidak pernah menduga bahwa Tuhan bertindak sangat jauh dan mengorbankan Anak-Nya demi keselamatan manusia. Setan tidak pernah berpikir bahwa Tuhan dapat mengesampingkan ke-Ilahian-Nya dan menjadi manusia. Setan tidak pernah menyangka bahwa Yesus akan mati demi menyelamatkan manusia.
Untuk menggambarkan semuanya itu Paulus memberikan kesaksian dalam Filipi 2:6-8 dengan mengatakan bahwa Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Saudara, apakah semua pengorbanan Kristus ini belum cukup mendorong kita untuk memandang kepada-Nya dalam pekerjaan-Nya menjadi pengantara kita? Apakah ini belum cukup mendorong kita untuk merendahkan diri, menyelidik hati kita dengan sungguh-sungguh untuk bertobat dan menyesal terhadap dosa serta meninggalkannya? Saudara, Yesus rela meninggalkan surga untuk kita, apakah kita masih berat untuk menyerahkan segala sesuatu kepada Tuhan? Bagaimana sikap dan respon kita? Allah selalu menunggu kita untuk setiap hari lebih menyerahkan semuanya kepada Dia.
Kembali kepada cerita perjamuan di malam terakhir dengan para murid-Nya, kita akan belajar untuk bagaimana kita bereaksi terhadap panggilan dari Allah dalam hal pertobatan.
Mari kita belajar dari Petrus dan Yudas ketika Yesus membasuh kaki para murid. Saudara, ini adalah suatu pemandangan yang baru pertama kali terjadi. Sementara murid‑murid memperhatikan tindakan Kristus, mereka merasa sangat terharu. Namun ada satu orang murid yang menunjukkan respon yg berbeda. Dia adalah Petrus.
Ketika tiba giliran bagi Petrus untuk dibasuh kakinya, ia bertanya dengan keheranan, “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?” (Yohanes 13:6). Lalu Yesus menjawab, “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak.” (Yohanes 13:7).
“Sifat Kristus yang merendahkan diri itu menghancurkan hati Petrus. Ia dipenuhi dengan perasaan malu memikirkan bahwa tak seorang murid pun yang melakukan upacara ini. Petrus tidak bisa tahan melihat Tuhannya, yang ia percayai sebagai Anak Allah, sedang melakukan tugas seorang hamba. Segenap jiwanya bangkit menentang sifat merendahkan diri ini. Ia tidak menyadari bahwa untuk hal inilah Kristus datang ke dunia.”
Bagi Petrus ini sebuah templakan besar. Namun dalam karakternya yang keras segenap jiwanya bergumul antara merendahkan diri dan tidak. Dia tidak siap kalau harus merendahkan diri sekarang ini seperti yang Gurunya lakukan. Dia baru menyadari bahwa Gurunya datang ke dunia bukan sebagai Raja Dunia namun untuk menjadi seorang HAMBA.
Dengan penegasan yang besar Petrus berseru sebagai tanda penolakan dalam Ayat 8 (KJV): “Thou shalt never wash my feet” atau “Engkau tidak akan pernah membasuh kakiku.”
“Upacara yang (hampir) ditolak oleh Petrus melambangkan penyucian yang lebih tinggi. Kristus telah datang untuk membasuh hati dari noda dosa. Dalam menolak mengijinkan Yesus membasuh kakinya, Petrus sedang menolak pembersihan yang lebih tinggi yang termasuk dalam yang lebih rendah. Sesungguhnya ia sedang menolak Tuhannya.”
Namun dengan penuh khidmat Kristus berkata kepada Petrus, “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (ayat 8). Mendengar jawaban Gurunya, Petrus menyerahkan kesombongan dan sifat keras kepalanya. Ia tidak tahan memikirkan tentang perpisahan dari Kristus, yang berarti kematian baginya. Dan kemudian Petrus menjawab: “Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku.”(ayat 9). Dan jawab Yesus kepadanya, “Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya.” (ayat 10).
Apa maksud perkataan Yesus ini? “Petrus dan saudara‑saudaranya sudah dibersihkan oleh pancaran air yang besar yang terbuka bagi dosa dan kenajisan. Kristus mengakui mereka sebagai milik‑Nya. Tetapi penggodaan telah membawa mereka kepada kejahatan, dan mereka masih memerlukan anugerah penyucian‑Nya. Ketika Yesus mengikat pinggang‑Nya dengan sebuah handuk untuk membasuh debu dari kaki mereka, dengan perbuatan itu Ia ingin membasuh kerenggangan, kecemburuan, dan kesombongan dari hati mereka . . . Hati mereka harus disucikan. Kesombongan dengan sifat memikirkan diri sendiri menciptakan perselisihan dan kebencian, tetapi segala perkara ini dibersihkan oleh Yesus dalam membasuh kaki mereka.”
“Sebagaimana halnya dengan Petrus dan saudara‑saudaranya, kita juga sudah dibasuh dalam darah Kristus, namun sering oleh hubungan dengan kejahatan, kesucian hati dinajiskan. Kita harus datang kepada Kristus untuk mendapat anugerah penyucian‑Nya. Petrus enggan membiarkan kakinya yang sudah kotor itu dipegang dengan tangan Tuhan dan Gurunya.
Dan berapa seringkah kita membawa hati kita yang berdosa dan sudah dinajiskan berhubungan dengan hati Kristus? ”
Saudara, sebagaimana Petrus yang tidak hanya menyerahkan kakinya namun juga hatinya kepada Tuhan, mari serahkan hati kita yang berdosa dan yang sudah dinajiskan ini untuk berhubungan dengan hati Kristus. Hanya Dia yang yang dapat membasuh dan menyucikan kita.
Namun perjamuan di malam terakhir itu menyisakan cerita yang sungguh buruk ketika di ayat 11 Yesus mengatakan: “Tidak semua kamu bersih.” Apa maksud perkataan Yesus ini? “Masing‑masing murid bersedia memberikan tempat tertinggi kepada orang lain, kecuali Yudas. Ketika tangan Juruselamat sedang membasuh kaki yang kotor itu, dan menyekanya dengan handuk, hati Yudas terharu dengan dorongan pada saat itu dan di tempat itu juga, untuk mengakui dosanya. Tetapi ia tidak mau merendahkan dirinya. Ia mengeraskan hatinya terhadap pertobatan, dan dorongan lama, yang dikesampingkannya sesaat lamanya, sekali lagi mengendalikan dia.”
“Dia merasa sakit hati melihat Kristus mencuci kaki murid‑murid‑Nya. Ia berpikir bahwa kalau Yesus merendahkan diri‑Nya sedemikian, tidak mungkin Ia menjadi raja Israel. Lenyaplah segala harapan akan kehormatan dalam kerajaan duniawi itu. Yudas merasa sudah cukup karena tidak ada sesuatu dapat dia peroleh bila (terus) mengikut Kristus. Setelah melihat Dia merendahkan diri‑Nya Sendiri, menurut pendapatnya sendiri Yudas menetapkan niatnya hendak mengingkari Yesus, dan mengaku dirinya tertipu. Ia dipengaruhi oleh Iblis, dan ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah disetujuinya hendak diperbuatnya dalam mengikhianati Tuhannya.”
“Yesus telah membasuh kaki Yudas, tetapi Yudas tidak menyerahkan hatinya kepada Yesus. Hati itu tidak disucikan. Yudas tidak menyerahkan dirinya kepada Kristus.”
Sama seperti kesebelas murid yang lain, Yudas juga mengijinkan Yesus membasuh kakinya. Namun kesalahan terbesarnya adalah tidak menyerahkan hati dan pikirannya kepada Kristus untuk disucikan. Mulutnya memang tidak mengucapkan perkataan penolakan seperti yang Petrus sempat ucapkan, namun dia mengeraskan hati dan menolak menyerahkan hatinya untuk Tuhan.
Saudara, reaksi Petrus dan Yudas ini menggambarkan dua golongan manusia: Yang pertama menyerahkan hati dan dirinya kepada Kristus. Mengakui dan menyerahkan segala keberatan hati dan dosa-dosanya. Namun yang kedua adalah sebaliknya. Berada di lingkungan yang sama, namun tidak menunjukkan sikap yang sama di hadapan Tuhan. Sama-sama berada dalam kumpulan umat Tuhan, beribadah kepada Tuhan dan mungkin juga berdoa dalam nama Yesus; namun yang membedakan adalah tidak menyerahkan hatinya kepada Kristus.
Berada di golongan manakah kita? Petrus dan sepuluh murid lainnya, atau berada di golongan Yudas?
Lukas 18:8, “Aku berkata kepadamu: Ia akan segera membenarkan mereka. Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?”
Satu hal yang begitu mengecewakan Yesus adalah ketika kedatangan-Nya yang kedua kali Dia tidak mendapati iman dalam diri umat-Nya di bumi. Apakah Anda akan berada pada golongan yang menyerahkan hati dan pikiran kepada Tuhan sehingga memiliki iman di bumi ketika Tuhan datang kedua kali? Atau mengeraskan hati dan pikiran sehingga mengecewakan Dia ketika dalam kedatangan-Nya kedua kali kita didapati tidak punya iman?
Biarlah ini yang menjadi doa kita satu dengan yang lain: “Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.” 2 Tesalonika 3:5.