Orang Mesir kuno percaya bahwa dewa matahari Ra melakukan perjalanan harian melintasi langit dengan pesawat jutaan tahun. Di malam hari, dikatakan bahwa Ra bepergian dengan perahu malam melalui dunia bawah. Setiap malam, Ra bertempur dengan Apep ular. Jika Ra berhasil, dia terlahir kembali saat matahari terbit. Untuk menjaga agar matahari terbit setiap pagi, para imam Mesir melakukan ritual yang rumit untuk membantu Ra mengatasi ular setiap malam.
Bagi orang Mesir, bahkan sesuatu yang biasa seperti matahari terbit setiap pagi, penuh dengan ketidakpastian. Tanpa ritual yang tepat, Apep mungkin menangkap Ra, yg akan menyebabkan gerhana atau badai yang mengerikan. Di sisi lain, Allah orang Israel menggunakan keteraturan matahari untuk menggambarkan ketekunan kebenaran-Nya: “Tetapi TUHAN adil di tengah-tengahnya… Pagi demi pagi Ia memberi hukum-Nya; itu tidak pernah ketinggalan pada waktu fajar. (Zefanya 3: 5). Prediksi harian matahari juga merupakan metafora untuk Mesias: “Biarlah namanya tetap selama-lamanya,
kiranya namanya semakin dikenal selama ada matahari.” (Mazmur 72:17).
Sifat Allah yang abadi harus menjadi penghiburan besar bagi umat-Nya — terutama di saat-saat segala sesuatu yang lain tampak tidak pasti. Nabi dalam buku Ratapan, di tengah kesedihan atas penghancuran kota Yerusalem dan penawanan bangsanya, melihat kepastian hadirnya pagi hari sebagai pengingat akan belas kasihan Allah: “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.” (Ratapan 3:22, 23, 26). Bahkan ketika semuanya kacau menjelang malam, matahari akan tetap terbit dan Tuhan kita akan tetap setia.
Mazmur 30:5
“Sebab sesaat saja Ia murka,
tetapi seumur hidup Ia murah hati;
sepanjang malam ada tangisan,
menjelang pagi terdengar sorak-sorai.”
-Doug Batchelor-