Oleh Joe Crews
Oh! Betapa Kaya Kasih Karunia-Nya!
Baru-baru ini saya membaca tentang seorang eksekutif yang pekerjaannya adalah melakukan wawancara bagi orang-orang yang melamar pekerjaan di perusahaannya. Pria ini berkeras untuk mendapatkan ruangan kantor yang panjang dengan meja di sudut yang berlawanan dengan pintu tempat para pelamar masuk. Ketika mereka berjalan menyeberangi ruangan untuk duduk di depan si eksekutif ini, ia akan mengamati mereka dengan seksama. Dan begitu si pelamar duduk, si eksekutif sudah membuat keputusan sehubungan dengan lamaran kerja mereka.
Bagi saya, ini bukan cara yang baik untuk menilai dan mengelompokkan orang—lewat pandangan pertama—akan tetapi, sayangnya, kebanyakan dari kita melakukannya baik secara sadar maupun tidak sadar. Kita membuat keputusan dengan cepat dan tidak adil, berdasarkan bagaimana kita melihat cara seseorang berjalan, tersenyum atau dari potongan rambutnya.
Saya ingin menanyakan satu pertanyaan. Apakah Tuhan menilai kita dengan cara yang sama sebagaimana kita menilai orang lain? Tidakkah Anda senang bahwa Tuhan tidak sama seperti kita? Ia melihat orang yang sama yang kita lihat, tetapi alkitab mengatakan bahwa ia melakukan segala sesuatu “menurut kekayaan kasih karunia-Nya,” (Efesus 1:7) Dan betapa besar perbedaannya! Manusia melihat apa yang tampak dari luar, tetapi Tuhan melihat hati.
Salah satu ayat teraneh di Alkitab terdapat di 1 Korintus 1:27,28. Paulus menuliskan,”Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti,” Bagaimana ini mungkin terjadi? Akal sehat kita mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin terjadi! Bagaimana mungkin orang-orang yang rendah dan bodoh dapat digunakan untuk memalukan kecerdasan mereka yang sangat terpelajar?
Saya mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini ketika sedang mempelajari bagaimana cara Yesus memanggil murid-muridNya. Pikirkan ini sejenak. Seandainya Anda yang menghadapi tugas seperti itu. Di manakah Anda akan mencari juru bicara atau perwakilan pribadi yang berkualifikasi? Saya tidak dapat menjawab untuk orang lain tetapi saya sendiri akan langsung pergi ke universitas ternama dimana kemampuan komunikasi dan berbahasa diasah hingga sempurna.
Tapi Yesus tidak melakukan hal itu. Ia mengabaikan sekolah rabbi yang hebat pada zamanNya, dan pergi ke tepi danau dimana orang-orang melemparkan jalanya untuk menangkap ikan. Di sanalah Ia memanggil murid-muridNya; dari antara orang-orang yang kasar dan bahkan cenderung tidak sopan. Ia memilih beberapa orang yang tidak bisa berbicara dengan baik dan benar, bahkan dalam dialek daerah mereka sendiri! Bagaimana nelayan-nelayan yang tidak terdidik dari tingkat masyarakat yang paling bawah ini bisa memenuhi persyaratan untuk misiNya ke seluruh dunia? Mengapa Ia tidak memilih sarjana budaya Yunani atau Yahudi yang dapat mengerti cara untuk berhubungan dengan orang-orang di setiap situasi sosial? Mari kita telusuri dan temukan jawabannya.
Di suatu pagi yang cerah di sebuah desa nelayan yang kecil di Betsaida, para nelayan sedang mengurus hasil tangkapan mereka tadi malam dan membasuh jala. Di antara mereka yang sedang bekerja, ada seorang yang kuat dan keras kepala bernama Simon Petrus. Mungkin saat itu ia sedang menyiulkan salah satu lagu daerah yang kasar tentang laut sementara sedang membersihkan hasil tangkapannya untuk dijual. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa sesuatu akan terjadi pada dirinya hari itu yang akan membawa namanya ke bibir jutaan orang di sepanjang zaman. Petrus hanyalah seorang nelayan biasa ketika Yesus dari Nazaret lewat dan melihatnya.
Apa yang dilihat Yesus ketika Ia memandang Petrus di pagi yang bersejarah itu? Jelas bukan hal yang sama yang dilihat orang lain. Anda tahu, nelayan ini memiliki karakter yang tidak begitu menyenangkan. Ia suka membual dan arogan sehingga orang mungkin akan memilih untuk menghindarinya jika bisa. Orang yang suka bicara dan impulsif ini sering mengatakan hal yang tidak pantas dan mengatakan hal yang salah pada waktu yang salah. Nampaknya, dari catatan tentang dia yang terbatas, Petrus adalah tipe orang yang sangat sulit dikasihi. Tapi bukan itu pribadi yang dilihat Yesus ketika Ia melihat Petrus pada hari itu!
Yesus melihat seorang nelayan sejati. Ia melihat jauh melewati penampilan luar yang kasar dan melihat potensi yang bisa muncul oleh orang yang suka membual ini lewat kasih karunianya yang kaya. Ia melihat seseorang yang dapat berdiri dan membawakan khotbah yang akan membawa ribuan orang ke mezbah sambil berteriak, “apa yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?” Dan karena Yesus mengenali berlian yang tersembunyi dalam batu kasar yang akan muncul lewat kuasa kasih karuniaNya, maka Yesus mengasihinya dan memanggilnya untuk menjadi murid. Bukankah ini luar biasa? Dan itulah sebabnya mengapa Anda dan saya bisa seperti ini sekarang. Itulah mengapa kita tidak menarik jala dosa yang berbau amis di sekitar kita lagi. Yesus lewat dan melihat kita. Ia tidak melihat diri kita pada saat itu, tetapi diri kita di masa depan yang dapat diwujudkan lewat kuasa luar biasaNya yang mengubahkan. Oh, betapa kaya kasih karunia-Nya!
Yang Terbaik yang Muncul dari yang Terburuk
Saya berharap kita semua bisa tahu cerita lengkap tentang pertemuan di tepi danau itu. Saya bertanya-tanya mengapa Petrus dan teman-temannya begitu rela untuk mengikuti panggilan orang asing dari Galilea yang sederhana ini. Tidak ada hal spesial tentang ciri fisik Yesus yang membuatnya menonjol dari kebanyakan orang. Kita diberitahu bahwa Yesus itu seperti “tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga kita memandang dia.” Ia memakai pakaian yang biasa dipakai oleh seorang tukang kayu dan tangannya yang kapalan menunjukkan bahwa Ia hanyalah seorang yang berasal dari desa setempat.
Jadi bagaimana kita bisa menjelaskan mengapa pria-pria praktis di tepi danau ini rela melangkah keluar dari perahu dan jala mereka begitu Yesus berkata “Ikutlah Aku”? Siapa yang bisa mengerti, dari sudut pandang masa kini, mengapa mereka dapat ditarik untuk membuat komitmen seumur hidup untuk mengikuti seorang tukang kayu biasa ini? Pastinya ada sesuatu yang tidak dapat ditolak mengenai wajah dan suara Yesus ketika Ia memanggil mereka untuk meninggalkan segala sesuatu pada hari itu. Aura cinta dan kuasa pastilah bersinar kuat sehingga mereka bahkan tidak menanyakan satu pertanyaan pun. Tidak tercatat apakah mereka bertanya pada Yesus bagaimana perlengkapan mereka yang mahal di belakang, dan berapa banyak mereka akan dibayar, atau bagaimana mereka dapat meninggalkan keluarga dan teman-teman pada waktu sesingkat itu.
Namun kemudian proses melebur semua bongkahan bahan manusia menjadi sekelompok penginjil yang berkuasa dimulai. Apakah ada harapan bahwa Petrus sanggup berubah hingga sedemikian rupa? Saya teringat cerita ketika Michelangelo menyusuri jalan di Roma pada suatu hari. Di sudut jalan ia mengamati sebongkah marmer retak yang tampaknya telah dibuang oleh seorang pemahat. Meskipun marmer itu tampak buruk, namun seniman besar itu berdiri mengamati batu yang diabaikan itu untuk waktu yang lama. Akhirnya ia memanggil asistennya untuk mengangkut marmer itu ke studionya. Di balik permukaannya yang rusak, Michelangelo melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. ia pun mulai mengerjakan batu itu dengan pahat dan palu. Bulan-bulan berlalu dan Michelangelo terus memalu dan memahat bongkahan marmer yang ditolak itu, hingga akhirnya dari jarinya yang ahli, muncullah patung sosok pria yang begitu sempurna yang tampak begitu hidup. Patung David berdiri untuk waktu yang lama di basilika Katedral Santo Petrus di Roma sebagai salah satu karya agung Michelangelo yang paling sempurna.
Saya percaya itulah yang dilihat Yesus ketika ia melihat bongkahan kasar kemanusiaan yang disebut Simon Petrus. Seniman Ilahi ini telah melihat sesuatu pada nelayan berbadan besar ini yang tidak dilihat orang lain, dan proses pembentukan pun dimulai. Diperlukan banyak hantaman palu untuk menyingkirkan kebanggaan dan keangkuhan. Dibutuhkan hantaman keras seperti yang terjadi di malam Transfigurasi, dan penyangkalan di dekat perapian dan seperti pada malam ketika Petrus berjalan di atas air. Tapi perlahan-lahan lewat pengaruh Maestro yang ahli ini, muncullah karya agung.
Kita dapat mengerti mukjizat Petrus karena hal yang sama terjadi kepada masing-masing kita. Dalam keadaan belum bertobat, kita sama tidak menariknya bagi Yesus seperti si nelayan yang bising dan bermulut besar itu. Akan tetapi ketika Ia melewati kita, Ia mengasihi kita sebagaimana Ia mengasihi Petrus. Ketika Yesus memanggil saya untuk mengikut Dia, saya adalah seorang yang keras kepala yang mengisap rokok di Carolina Selatan. Hidup saya tidak pernah sama lagi sejak saat itu. Bagaimana mungkin Ia bisa memunculkan sesuatu yang baik dari bahan baku yang tidak keruan? Namun Ia selalu melakukannya. Ia telah mengambil apa yang bodoh dan lemah bagi dunia untuk memalukan orang-orang berhikmat dan kuat. Tidakkah Anda senang Ia telah datang untuk mencari Anda dan tidak melewatkan Anda? Puji Tuhan untuk kasih karuniaNya yang tidak ada bandingannya!
Kasih Karunia-Ku cukup bagimu
Pikirkan sejenak bagaimana Tuhan telah mengambil yang terlemah dan terburuk untuk menjungkirbalikkan dunia. Siapa yang Ia pilih ketika Ia memiliki tugas besar untuk mengguncang dunia? Ia berjalan memasuki toko tukang sepatu di Northampton, Inggris dan menepuk bahu seorang pria yang sedang mengerjakan sebuah sepatu. Di toko yang sederhana itulah, Tuhan memanggil William Carey untuk membuka ladang penginjilan di tanah Hindu yang gelap di India. Si pembuat sepatu yang tidak terkenal itu menjadi bapa pergerakan misionaris modern di India, dan saya mendapat kehormatan untuk menjadi misionaris di sana bertahun-tahun kemudian dan bekerja bersama salah seorang keturunan langsung dari orang Hindu pertama yang menjadi Kristen karena William Carey.
Sekali lagi, Yesus berjalan melewati sisi jalan di Chicago dan memasuki toko sepatu dimana terdapat seorang pemuda Kristen yang bekerja sebagai salesman. Namanya D.L. Moody dan Yesus memanggilnya pada hari itu untuk menjadi saksi bagi-Nya. Dwight Moody melangkah keluar dari toko kecil itu dan menjadi seorang penginjil terhebat sejak zaman Rasul-rasul. Di kemudian hari, ia dan penyanyi lagu rohani yang mendampinginya, Sankey, pergi ke Inggris untuk mengadakan acara penginjilan besar di kota London. Pada salah satu hari yang lowong, mereka berkendara dengan kereta kuda melewati hutan di luar kota, dan mendapati sebuah perkemahan orang Gipsi. Moody memerintahkan kusir untuk berhenti agar ia dapat berkhotbah kepada kelompok Gipsi yang terkenal tidak baik yang mengerumuni kereta kuda itu. Setelah khotbah selesai, Sankey menyanyikan salah satu lagu rohani panggilan yang indah. Salah satu anak laki-laki Gipsi berdiri di dekat roda kereta itu dan tidak melepaskan matanya sedikit pun dari penyanyi hebat itu selama ia bernyanyi. Sankey sangat tersentuh oleh anak laki-laki itu hingga ia menaruh tangannya di atas kepala anak itu dan berkata,”Tuhan akan membuat anak ini menjadi seorang pengkhotbah.” Bertahun-tahun setelah itu, di bawah pengaruh baik dari orang Kristen itu, anak laki-laki gipsi itu mengabdikan hidupnya untuk pelayanan dan dengan kuasa mempengaruhi dunia sebagai Rodney (Gypsy) Smith.
Pada zaman-Nya, Yesus memanggil dua bersaudara yang bergelora, yang sedang bekerja dengan perahu dan jala bersama ayah mereka, Zebedeus. Yakobus dan Yohanes tampaknya adalah kandidat yang tidak diharapkan untuk pelayanan sama seperti Petrus yang tidak sabaran. Mereka memiliki temperamen yang cepat panas dan cepat terpancing perkelahian. Yesus sebenarnya memberi mereka nama panggilan yang sesuai dengan karakter mereka yang bengis. Ia memanggil mereka “anak-anak guruh”. Mungkin Ia memberikan nama itu setelah pengalaman di desa Samaria. Di sana kedua bersaudara itu ingin menurunkan api dari langit untuk membakar seluruh orang di desa itu karena mereka tidak menunjukkan keramahan yang sepatutnya.
Dilihat dari semua sisi, Yesus sedang menghancurkan misiNya dengan memanggil Yakobus dan Yohanes menjadi muridNya. Pastilah jelas bagi semua orang bahwa kedua saudara ini akan mempermalukan guru mereka setiap kali mereka membuka mulut. Namun, Yesus tahu persis apa yang sedang Ia lakukan. Ia melihat potensi mulia dalam kehidupan kedua saudara yang suka membantah ini. Salah seorang dari mereka nantinya akan menjadi salah seorang murid yang paling berhati lembut di antara kedua belas murid, yang bersandar kepada Yesus dan menulis surat yang tak ada tandingannya tentang kasih kepada sesama manusia. Sekali lagi Tuhan telah memilih apa yang lemah bagi dunia untuk memalukan apa yang kuat. Dan “di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”(Roma 5:20).
Dan kemudian ada saat ketika Yesus berjalan menyusuri daerah Bowery di kota New York tua yang jahat, ke jalanan yang kotor dimana terbaring seorang pria menyedihkan yang mabuk berat bernama Sam Hadley. Setiap hari ia akan tidur di selokan dan menjadi tontonan bagi orang-orang yang melewatinya, dan setiap malam ia akan merangkak ke salah satu kamar yang dipenuhi kutu busuk di jalan Bowery dan tidur di sana. Dan itulah yang dilihat Yesus ketika Ia mampir dan melihat orang itu. Atau apakah itu yang Yesus lihat? Kenyataannya Kristus sama sekali tidak melihat seorang gelandangan yang tidak ada harapan. Ia melihat melampaui kekotoran dan kerusakan dan melihat perubahan yang bisa dialami Sam Hadley lewat kuasa kasih karunianya. Ia berkata, “Ikutlah Aku,” dan bagian lahiriah yang ditolak oleh manusia itu meresponNya. Selama bertahun-tahun, Sam Hadley memberitakan injil di daerah pelabuhan New York, dan menuntun ribuan orang untuk menerima kasih karunia Kristus yang mengubahkan hidup, dan kembali membuktikan bahwa Tuhan bisa membawa yang terbaik muncul dari yang terburuk.
Paulus di Hadapan Nero
Bagaimana kita bisa menjelaskan kasih karunia yang “jauh lebih besar” yang dapat mengalahkan kecenderungan kejahatan terkuat? Pertama-tama, kasih karunia itu gratis dan tersedia bagi setiap jiwa di dunia. Ia juga melebihi semua pengertian usang tentang kasih karunia yang sering kita gunakan. Kasih karunia bukanlah sebuah teori, atau mimpi atau harapan mati. Penjelasan standar tentang “kemurahan yang tidak layak diterima”(unmerited favor) sangat tidak cukup untuk menjelaskan misi penebusannya. Saya ingin menjelaskan bahwa kasih karunia adalah kuasa untuk memenuhi setiap kebutuhan dalam kehidupan manusia. Dibutuhkan banyak kekuatan untuk memahat sebongkah granit yang padat menjadi bentuk patung manusia yang sempurna, akan tetapi dibutuhkan jauh lebih banyak kuasa untuk mengubah pria atau wanita yang risau dan tidak bermoral untuk menjadi serupa dengan gambaran Kristus.
Dari semua penulis di Alkitab, tampaknya Paulus memiliki konsep kasih karunia yang lebih benar dan juga memiliki penghargaan yang lebih dalam untuk kinerjanya yang dramatis dalam kehidupan sehari-hari. Jika Rasul yang agung ini dapat menuliskannya hari ini, ia mungkin tidak akan dapat memberikan pernyataan yang lebih dalam tentang kasih karunia daripada yang ia berikan kepada jemaat Korintus dulu. Ia menulis:”Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.”(1 Korintus 15:10). Dalam satu ayat saja, Paulus telah menyebutkan sebanyak tiga kali bahwa kasih karunialah yang membuatnya dapat melakukan pekerjaannya. Secara terus menerus, Paulus memberitakan tentang kasih karunia dan memberikan kesaksian di semua tempat tentang pertemuannya yang ajaib dengan Kristus di jalan menuju Damsyik.
Paulus tidak pernah melupakan peristiwa radikal pada hari itu yang membawanya bertemu muka dengan muka dengan Mesias yang ia hina dan tolak. Dengan amarah dalam hatinya, ia bergegas untuk menghancurkan setiap orang Kristen yang bisa ia lacak di daerah Damsyik. Tapi kemudian muncullah cahaya dan suara dari langit! Pria Farisi yang angkuh ini menjadi buta karena pertemuan itu, dan ketika matanya terbuka kembali untuk pertama kalinya, hal pertama yang ia lihat adalah obyek yang dulu sangat menyulut kemarahannya. Ketika balok tersingkir dari penglihatan rohaninya dan Paulus menyadari bahwa suara yang ia dengar itu adalah Yesus yang dulu ia aniaya, ia berseru,”Ya Tuhan, Engkau ingin aku melakukan apa?” (Kisah Para Rasul 9:6 Indonesia Literal Version).
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa Yesus memilih seorang Farisi yang paling fanatik di antara komunitas Yahudi untuk menjadi misionarisnya bagi bangsa-bangsa lain? Jelas dari tampak luar, Saulus sepertinya sama sekali tidak cocok untuk mengemban misi tersebut. Tetapi Yesus membuat gerakanNya berdasarkan kasih karunia—kekuatan ilahi itu dapat mengalihkan dan memfokuskan kemarahan Saulus dan mengarahkannya pada semangat kesungguhan misionaris Paulus. Tidak heran Rasul besar ini menuliskan, “karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang”.
Bagaimana kuasa kasih karunia bekerja di dalam pelayanan Paulus yang luas ini? Ketika ia menemukan kasih karunia dalam mata Tuhan, apa akibatnya baginya? Ia menemukan kelepasan dari badai di laut dan dari bisa mematikan oleh gigitan ular beludak tak lama kemudian di sebuah pulau. Ia diselamatkan dari penjara dan dari kerumunan orang yang berusaha melemparinya dengan batu. Kasih karunia sangat nyata bagi Paulus, karena itu terdiri dari kuasa kehadiran yang dinamis untuk setiap momen berbahaya dalam hidupnya yang sibuk. Adalah mudah untuk mengerti mengapa ia menjadikan kasih karunia sebagai tema utama dari arah penginjilannya di kota-kota non Yahudi dimana ia melayani. Kepada jemaat Efesus ia menulis, “Kepadaku, yang paling hina di antara segala orang kudus, telah dianugerahkan kasih karunia ini, untuk memberitakan kepada orang-orang bukan Yahudi kekayaan Kristus, yang tidak terduga itu.”(Efesus 3:8).
Apakah bagi Paulus kasih karunia yang luar biasa ini cukup untuk mengatasi semua permasalahan dan bahaya yang terus menerus menimpanya? Dalam satu kasus, ia menjadi sangat menderita karena ketidaksanggupan fisik yang memedihkan sehingga ia menyebutnya “duri dalam daging”. Lewat bagian lain dari suratnya, kita menemukan bahwa masalahnya ada pada penglihatannya. Dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, ia menuliskan, “bahwa jika mungkin, kamu telah mencungkil matamu dan memberikannya kepadaku.” (Galatia 4:15). Dan kemudian ia kembali berkata bahwa ia harus menulis kepada mereka dengan huruf-huruf besar karena ia tidak bisa melihat dengan baik (Galatia 6:11).
Kelemahan ini menjadi begitu berat sehingga Paulus menjadikannya subyek spesial dalam doanya. Ia menjelaskan pengalaman ini dalam suratnya yang kedua untuk jemaat di Korintus: “Berkenaan dengan hal ini, aku telah tiga kali memohon Tuhan supaya hal itu berlalu dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.”(2 Korintus 12:8 ILT, 9 TB). Jadi kasih karunia Tuhan yang berkuasa menyelamatkan itulah yang menjaga Paulus agar tetap teguh dan tak tergoyahkan walaupun duri itu masih tetap ada.
Untuk mengerti kekuatan dari kasih karunia yang cukup itu, kita perlu mengetahui minggu-minggu dan bulan-bulan terakhir pelayanan Paulus. Ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk kembali ke Yerusalem dan memberitakan injil meskipun ia dulu hampir saja tidak lolos dari para imam dan orang Farisi yang sangat marah. Semua temannya berusaha memintanya untuk menjauhi tempat berbahaya itu, dan memperingatkannya tentang kekejaman yang dapat dilakukan oleh komunitas Yahudi. Jawaban Paulus untuk itu adalah: “Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang injil kasih karunia Allah.” (Kisah Para Rasul 20:22-24).
Kasih karunia yang telah dinyatakan kepada Paulus di jalan menuju Damsyik bagaikan api yang terus menyala di hatinya. Ia rindu untuk memberikan satu kekaksian terakhir kepada para pemimpin umat yang ia cintai, meskipun Tuhan sudah mengungkapkan kepadanya bahwa ia akan dipenjara karena itu.
Para musuh, tentu saja, telah menunggu Paulus, dan mereka menyerangnya secara fisik. Ia dianiaya oleh prajurit dan juga oleh penduduk biasa, dan ia pun mengerti dalamnya kebencian bangsanya kepada dirinya seperti yang terungkap lewat para saksi palsu di hadapan wali negeri, dan Paulus pun naik banding kepada Kaisar.
Setelah berbulan-bulan mengalami intrik politik, juga minggu-minggu menyusahkan dan mengalami badai di laut yang mengancam jiwanya, Paulus dikirimkan kepada pemimpin di Roma. Di sana ia dilemparkan ke lubang yang gelap dan kotor bernama Penjara Mamertine. Hari ini, mereka yang mengunjungi tempat itu akan dibawa menuruni tangga yang sudah diterangi lampu ke penjara bawah tanah itu. Ketika mengunjungi Roma dan sedang menuruni tangga itu, saya memikirkan Paulus yang dipenjara. Ia menderita di sana selama berhari-hari sebelum mereka menyeretnya keluar dan membawanya untuk berdiri di hadapan Kaisar. Saya telah berusaha untuk merekonstruksi peristiwa itu dalam pikiran saya tentang bagaimana perasaan Paulus ketika ia dibawa ke ruangan takhta dari raja lalim yang jahat dan haus darah yang pernah memimpin suatu negara. Nero adalah raja jahat yang tak berhati yang pernah dengan bengis menganiaya orang Kristen di Roma dan tindakannya kepada rakyatnya sendiri juga sama sekali tidak berbelas kasihan.
Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat ketika Paulus mendapat kesempatan untuk berbicara bagi bagi dirinya sendiri di hadapan penguasa seluruh bumi saat itu. Apa yang ia rasakan ketika ia melihat aula menakjubkan dimana duta besar dan perwakilan dari setiap negara dikumpulkan untuk menghormati sang kaisar? Tidak diragukan bahwa Paulus dapat memberikan pembelaan yang baik bagi dirinya sendiri karena ia sangat terpelajar dalam seni bicara persuasif. Tetapi ketika ia melihat kumpulan besar yang terdiri dari perwakilan setiap negara, hatinya tergerak. Ia menyadari bahwa kata-kata yang akan ia sampaikan hari itu akan dibawa pulang ke setiap negara yang perwakilannya ada di situ. Jadi gantinya membawakan pembelaan bagi diri sendiri, Paulus mengkhotbahkan salah satu dari khotbahnya yang paling berkuasa tentang kekayaan kasih karunia yang telah diungkapkan kepadanya dulu sekali di jalan menuju Damsyik.
Khotbah itu tidak pernah mati. Dan tidak diragukan bahwa khotbah itu diulangi oleh mereka yang mendengarnya hingga pengaruhnya telah mengelilingi bumi. Akan tetapi Paulus dikembalikan ke penjara Mamertine yang kotor dan menyedihkan. Belakangan, barulah ia diberikan kebebasan terbatas untuk berkomunikasi dengan teman-temannya sesama Kristen, tapi setelah dua tahun, para penjaga datang kembali untuk merantai rasul yang sudah tua dan ia tidak pernah lepas lagi dari rantai itu.
Apakah kasih karunia yang dijanjikan itu cukup untuk menopang pembuat tenda yang berani itu hingga akhir hidupnya? Ya. Hari itu tiba ketika mereka membawanya menyusuri jalanan berbatu untuk terakhir kalinya, melewati istana kaisar dan masuk ke arena dimana nyawanya akan dicabut. Apa yang Paulus pikirkan ketika ia melewati patung Nero yang besar yang berdiri di depan istana itu? Sejarah memberitahu kita bahwa patung yang besar itu memiliki tinggi 110 kaki; dan mustahil untuk tidak melihatnya ketika para prajurit menggiring sang tawanan memasuki koloseum.
Paulus pastilah melihat monumen itu dan membaca tulisan yang dipahat di tumpuan kakinya: Nero-Sang Pemenang. Sulitkah bagi kita untuk membayangkan pikiran Paulus pada saat itu ketika ia melihat ke atas pada patung raksasa itu dan membaca tulisan tersebut? Pasti pikirannya melayang kembali ke hari ketika ia duduk di penjara di Korintus, dan menulis surat untuk mendorong semangat para orang kudus yang menderita di Roma. Ia telah mendengar penganiayaan yang mereka alami di bawah tangan Nero yang kejam, dan penanya menorehkan simpati dan kasih ketika ia menuangkan hatinya kepada mereka. “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?…Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk yang lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. ”(Roma 8:35,37-39)
Kata-kata Paulus yang diilhami oleh Roh Kudus itu kembali lagi kepadanya untuk menghiburnya ketika ia membaca tulisan angkuh yang terpatri di patung itu. Ia pasti berpikir, “Nero, engkau bukanlah sang pemenang. Engkau adalah hamba dari karaktermu yang rusak. Orang Kristen adalah orang bebas yang sesungguhnya. Kami lebih dari pemenang melalui Kristus Tuhan kami.”
Paulus menganggap itu semua sebagai sukacita; untuk membuat pengorbanan terbesar bagi Juruselamat yang ia cintai. Seorang manusia tidak akan mati untuk alasan yang dangkal, tetapi sesuatu telah menyentuh hati Paulus dan itu tidak bisa dihapuskan. Kasih karunia Tuhan cukup. Kasih karunia itu tidak mengecewakannya. Dan telah terbukti bahwa itu cukup oleh semua yang pernah mengklaimnya dengan iman. Seseorang tidak akan pernah sama lagi ketika Yesus melewatinya dan melihatnya dan mengasihinya. Paulus jelas tidak pernah sama lagi, demikian juga dengan Natanael ketika Yesus melihatnya di bawah pohon ara.
Dan apa yang bisa kita katakan mengenai Zakheus, orang kaya yang pendek itu, yang sangat bersemangat untuk melihat Yesus, sampai-sampai ia memanjat pohon ara agar dapat melihat lebih jelas? Pria ini adalah seorang pencuri kelas atas yang profesional, tetapi ketika Yesus bertemu Zakheus pada hari itu, hati tamaknya diubahkan oleh kasih karunia. Pernahkah Anda memikirkan tentang mukjizat yang terjadi ketika Yesus memanggil namanya dan mengumumkan bahwa Ia akan pergi ke rumah Zakheus untuk makan di situ? Dalam sekejap, pemungut cukai yang cerdik itu turun dari pohon dan segera menerima penawaran itu, tapi pada saat ia menyentuh tanah, sifatnya yang berliku-liku telah berubah, dan ia menjadi orang yang berbeda. Kalimat pertamanya adalah, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”(Lukas 19:8).
Tidak ada yang bisa membantah bahwa kalimat itu memberikan kesaksian kuat untuk pertobatan sejati. Zakheus harus mengembalikan banyak uang dari mereka yang diperasnya, namun ia masih tetap berkomitmen untuk membagi setengah dari kekayaannya untuk orang miskin. Betapa menakjubkan perubahan hati yang terjadi karena pertobatan itu dalam sekejap. Oh, betapa kaya kasih karunia-Nya! Betapa tidak terukur dan sangat dalam. Pada satu hari, Yesus menyusuri jalan dan melihat ke bawah dan melihat orang malang di selokan. Ia menjangkau orang itu dan memenuhi kebutuhannya. Pada hari berikutnya Ia melewati jalan yang sama dan melihat ke atas kepada orang kaya di atas pohon. Ia juga dapat memenuhi kebutuhan orang itu. Luar biasa bagaimana ia dapat memenuhi kebutuhan dari setiap orang di semua tingkat sosial apapun permasalahan mereka. Ia juga dapat memenuhi kebutuhan Anda dan saya saat ini juga.
Kemenangan Akhir Petrus
Tapi mari kembali kepada biografi si nelayan yang bertubuh besar. Perubahannya mungkin adalah perubahan yang paling dramatis dari semua. Namun ada saat lain ketika Yesus melihat Petrus dalam situasi yang sangat berbeda. Semua murid telah menyatakan kesetiaan abadi kepada Guru mereka, tetapi Petrus yang impulsif berbicara lebih keras dan lebih lama daripada yang lainnya. Ia berkata bahwa ia lebih memilih mati daripada menyangkal Yesus. Dan Yesus tentu saja tahu kenyataannya dan memperingati muridnya yang sangat bersemangat ini bahwa kalimatnya itu akan diuji dan didapati terlalu ringan. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau telah menyangkal Aku tiga kali.”(Matius 26:34).
Dalam beberapa jam saja, para murid berusaha untuk tetap terjaga sementara Yesus sedang bergumul dengan sedih dan gentar di taman Getsemani. Tiba-tiba, di tengah kegelapan malam, terdengar suara nyaring dari pasukan bersenjata, dan Petrus terbangun dari tidurnya, melompat berdiri dengan pedang di tangannya. Membuktikan mulut besarnya, ia mengayunkan pedangnya ke orang terdekat, dan memutuskan telinga orang itu. Petrus langsung ditegur oleh suara tenang GuruNya, “Masukkan pedang itu kembali ke dalam sarungnya.” (Matius 26:52).
Dan kemudian, kekacauan pecah ketika si pengkhianat Yudas mengidentifikasi Yesus sebagai obyek penangkapan mereka. Dalam kebingungan yang muncul, Yesus dengan kasar dipisahkan dari para pengikutNya dan diseret untuk pertemuan ilegal tanpa persiapan dengan Pilatus di gedung pengadilan. Sementara keadaan para murid saat itu, kita mengetahuinya lewat pernyataan alkitab yang ringkas dan sederhana ini, “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri” (Matius 26:56). Tapi kemudian Matius segera menambahkan kalimat ini, “Petrus mengikuti Dia dari jauh sampai ke halaman Imam Besar” (ayat 58).
Peristiwa memalukan yang terjadi di halaman itu menunjukkan ketidakstabilan Petrus, yang sudah lebih dulu diketahui Yesus ketika Ia menambahkan nama Kefas atau Petrus (yang berarti batu yang bergulir) pada nama Simon. Dalam tiga penyangkalannya, Petrus menjauhkan dirinya dari Dia yang dengan jelas terlihat lewat pintu yang terbuka. Bibir yang sebelumnya mendeklarasikan “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup” sekarang mulai mengutuk dan bersumpah untuk menghindari tuduhan dari hamba perempuan yang mengenalinya. Akan tetapi penyangkalannya itu terpotong oleh suara kokok ayam jantan. Lalu mata Petrus tertuju ke pintu terbuka dan bertemu dengan pandangan Yesus—tatapan sedih yang berbelas kasihan yang membakar hati Petrus yang patah selama berjam-jam.
Ketika ia menyadari hal mengerikan yang telah ia lakukan, Petrus pergi ke luar menghilang di kegelapan malam. Kita tidak mengetahui ke mana rasul yang menderita ini pergi ketika ia mencari tempat tenang untuk berduka selama malam yang tampaknya tidak akan berakhir itu. Rasa bersalah tidak henti-hentinya melanda Petrus pada malam Paskah, juga pada hari persiapan keesokan harinya.
Dalam benak kita, mudah untuk membayangkan penderitaan yang dialami Petrus dalam pikirannya selama hari Sabat yang besar itu ketika Yesus beristirahat di kubur. Ia bergumul dengan pikiran bahwa ia telah melakukan dosa yang tidak dapat diampuni. Rasa bersalah besar yang melandanya karena perbuatan keji yang ia lakukan tidak mau pergi darinya.
Tapi kemudian Minggu pagi pun tiba dan Petrus memaksa dirinya untuk bergabung bersama para murid lainnya yang berkumpul untuk berbagi duka. Ada rasa malu ketika mereka mengingat tindakan pengecut yang mereka lakukan pada Kamis malam. Saya bisa membayangkan Petrus menarik dirinya ke sudut, masih dengan mata merah karena menangis. Lalu tiba-tiba pintu terbuka lebar dan Maria Magdalena segera masuk ke tengah ruangan, dengan terengah, ia memberitakan kabar mengejutkan bahwa ia telah melihat Yesus bangkit. Ada kegemparan yang bercampur dengan ketidakpercayaan. Dengan bersemangat Maria mengulangi kata-kata malaikat bahwa mereka harus pergi ke Galilea untuk bertemu sendiri dengan Yesus. Tapi Alkitab menuliskan bahwa kata-kata Maria bagi mereka adalah “omong kosong dan mereka tidak percaya” (Lukas 24:11).
Mudah untuk membayangkan rasa frustasi Maria Magdalena dalam menghadapi keraguan terhadap kejadian yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tapi dimanakah Petrus? Tentunya Petrus akan percaya bahwa Maria mengatakan kebenaran. Melihat Petrus di sudut, Maria bergegas menceritakan kabar itu kepadanya,”Mari, kita harus menemui Tuhan kita di Galilea.” “Tidak, Maria. Tidak denganku. Yesus tidak akan pernah mau berbicara lagi denganku. Aku menyangkalnya dengan mengutuk dan bersumpah!” kemudian Maria berkata dengan bersemangat, “Tidak, Petrus, malaikat berkata, ‘katakanlah kepada murid-murid-Nya dan kepada Petrus.’ Ia menyebut namamu. Yesus terutama menginginkan kau hadir di sana.”
Pernahkah ada kata-kata yang lebih manis yang jatuh ke hati manusia lebih dari kata-kata Maria yang menggetarkan? Ke dalam hidup yang telah menjadi gelap dari murid yang berduka itu, kemuliaan surga menyeruak bagaikan matahari yang baru terbit. Dan Petrus pun berlari, dan berlari untuk memberitahu semua orang kabar mulia itu. Alkitab mencatatkan, di ayat 11 dan 12, meskipun para murid tidak percaya namun Petrus bangun, lalu cepat-cepat pergi ke kubur itu. Kalimat sukacita itu menggema di hatinya—Yesus masih mengasihinya! Yesus telah mengampuninya!
Saya tidak perlu membuang kata lebih banyak untuk menceritakan kelanjutannya, karena semua kita telah melewati rasa bersalah tajam yang telah menghilangkan sukacita dan pengharapan Petrus. Kita menanyakan pertanyaan sama yang juga diteriakkan Petrus di kegelapan—“Mengapa aku melakukannya? Aku mengasihiNya namun aku menyangkalNya!” Dan hati kita yang patah telah diangkat dan disembuhkan oleh jaminan berkat yang sama bahwa dosa kita telah diampuni. Yesus masih mengasihi kita dan segera menanggapi tangisan pertobatan kita. Haleluya! Betapa luar biasanya Juruselamat kita! Bagaimana mungkin kita tidak mengasihi Penebus yang seperti itu? Dan dari pengalaman pemulihan itu kita dapat memasuki hidup yang sama yang dialami Petrus, hidup dengan kemenangan terus menerus dan kesaksian yang berbuah untuk Tuhan. Semua karena ia telah memilih kita dalam kelemahan kita melalui kasih karuniaNya yang kaya, untuk memalukan apa yang kuat bagi dunia. Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah! Puji Tuhan untuk kasih karunianya yang kaya dan tidak terduga!