“Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” Matius 18:32, 33.
Suatu diskusi yang sangat panjang di antara orang Kristen, berpusat pada peran Ilahi dan manusia di dalam penyelamatan kita. Beberapa orang Kristen meletakkan seluruh beban pada sisi Ilahi, mengurangi kemanusiaan sampai pada titik yang tidak tampak lagi. Pada sisi ekstrem yang lain dari teologi yang membuat kemauan manusia itu begitu kuatnya, sehingga diri mereka sendiri dapat melakukan penurutan terhadap hukum-hukum Allah di dalam kehidupan seseorang yang penuh penyerahan diri.
Perdebatan yang berlangsung terus-menerus ini seringkali menggambarkan tulisan-tulisan Rasul Paulus. Paulus mengajarkan tanpa ragu-ragu bahwa keselamatan datangnya hanya oleh kasih karunia, dan melalui iman saja. (mis., Efesus 2:9), tetapi pengadilan itu sesuai dengan perbuatan-perbuatan (mis., Roma 14:10-12). Bagaimana mungkin pemikiran-pemikiran yang tampaknya kontradiksi ini dapat didamaikan? Bagi saya, jawaban datangnya bukan dari argumen secara teologi, tetapi terdapat di dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus. Dan mengenai hal ini, cerita-Nya tentang hamba yang tidak berpengasihan (Matius 18:21-35) memberikan penjelasan yang paling jelas dari semuanya.
Ingat perumpamaan itu? Di sini seorang lelaki yang mempunyai utang kepada raja dalam jumlah yang sangat besar—10.000 talenta. Kita tidak mungkin dapat mengerti akan jumlah dari utang itu; 10.000 adalah jumlah yang paling besar yang dituliskan dalam Alkitab, dan talenta adalah mata uang yang paling besar. Masa kini kita mungkin membicarakan tentang 50 juta dolar atau 1 milyar dollar untuk mendapatkan gambaran yang masuk akal. Hamba itu memohon waktu untuk membayar kembali utangnya itu. Berapa banyaknya waktu hidup yang dia harap untuk didapatkan? Dia tidak akan pernah mampu membayarnya kembali. Tetapi ada suatu kejutan—raja itu mengampuni dia atas segala-galanya. Tepatnya seperti itu. Pergi dengan bebas; saya membatalkan utangmu.
Sekarang, orang yang sudah mendapat pengampunan sedemikian banyaknya itu menghadang seorang temannya sesama hamba yang memiliki utang sebesar 100 dinar (hanya beberapa ribu dollar saja). Orang ini juga meminta waktu untuk membayar kembali utangnya itu. Berapa banyaknya waktu hidup yang dia harap untuk didapatkan? Dia tidak akan pernah mampu membayarnya kembali. Tetapi ada suatu kejutan—raja itu mengampuni dia atas segala-galanya. Tepatnya seperti itu. Pergi dengan bebas; saya membatalkan utangmu.
Sekarang, orang yang sudah mendapat pengampunan sedemikian banyaknya itu menghadang seorang temannya sesama hamba yang memiliki utang sebesar 100 dinar (hanya beberapa ribu dollar saja). Orang ini juga meminta waktu untuk membayar kembali utangnya, tetapi gantinya, orang yang pertama itu menjebloskan temannya ke dalam penjara. Kebetulan berita itu sampai kepada raja, dan dia menjadi marah. Dia memanggil hamba yang dia batalkan utangnya yang sedemikian banyaknya, dia mengatakan kepadanya, bahwa oleh karena tindakannya itu, maka urusan pembatalan utang ditiadakan.
Ini adalah perumpamaan tentang kerajaan surga, sebuah kisah tentang kasih karunia. Kita dapat menyimpulkannya dalam dua kata: pemberian dan tuntutan. Keselamatan itu adalah pemberian, pemberian yang mahadahsyat; tetapi pemberian itu membawa sebuah tuntutan terhadap kehidupan kita. Kasih karunia yang mengampuni akan mengubahkan kita menjadi serupa dengan Allah.