PEMBICARAAN KELUARGA SEJATI — JANGAN PERGI KE TEMPAT TIDUR DALAM KEADAAN MARAH?

Uncategorized
Mari bagikan artikel ini

Oleh Willie Oliver, PhD, CFLE, Elaine Oliver, MA, CFLE

Karena Anda tidak boleh “membiarkan matahari terbenam sementara Anda masih marah” (Efesus 4:26), bagaimana Anda menangani masalah dengan pasangan Anda yang tidak dapat diselesaikan sebelum matahari terbenam, ketika masalah tersebut membutuhkan lebih banyak waktu untuk diselesaikan?

Kemarahan sering kali merupakan respons terhadap bahaya yang dirasakan terhadap diri sendiri atau orang lain. Kemarahan juga merupakan respons terhadap rasa frustrasi, yang telah diketahui selama beberapa waktu sebagai penyebab kemarahan dan permusuhan.

Yang pasti, kemarahan sering kali menghancurkan kedamaian dalam hubungan. Ketika seseorang marah, ia cenderung melakukan atau mengatakan hal-hal yang kemudian ia sesali. Itulah salah satu alasan mengapa Salomo, orang bijak, mengatakan, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Kemudian penulis menyatakan: “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28).

Nasihat Salomo sangat tepat. Hubungan selalu menjadi lebih baik ketika kita belajar untuk mengendalikan amarah kita. Jika tidak, kita sering kali harus menarik kembali apa yang telah kita katakan atau lakukan pada saat kemarahan kita tak terkendali. Menariknya, Salomo mengacu pada kenyataan berperilaku di luar kendali—sering kali ketika kemarahan hadir—sebagai “seperti kota yang roboh temboknya,” singkatnya, tempat yang tidak aman untuk ditinggali oleh manusia.

Pertanyaan Anda berhubungan langsung dengan ayat ini: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Efesus 4:26).

Di sini, rasul Paulus sebenarnya menggunakan bahasa Mazmur 4:5, dan menyebutkan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang beriman ketika marah, yaitu tidak berbuat dosa.

Pilihan bahasa rasul Paulus tentang hadirnya kemarahan dalam kehidupan orang Kristen, memperjelas bahwa jika kita mengizinkan emosi tersebut muncul ke permukaan, emosi tersebut haruslah emosi yang terkendali dan terkontrol, dan bukannya perilaku meledak-ledak yang selalu menjadi ciri kemarahan yang tidak terkendali. “Menguasai diri,” atau mengizinkan Tuhan untuk mengendalikan hidup kita, mendorong orang percaya untuk hidup dalam damai sejahtera.

Sementara banyak orang melihat nasihat Paulus secara harfiah, dan bergegas untuk memperbaiki keadaan sebelum matahari terbenam pada saat kemarahan muncul—dan ini bukan satu-satunya penerapan yang dapat diambil dari ayat ini—maksud Paulus jauh lebih menyeluruh. Paulus melihat petang sebagai waktu untuk beristirahat, membarui diri, dan berhubungan kembali dengan Tuhan, dan Paulus memberikan nasihat yang akan menempatkan kita dalam kerangka berpikir untuk memaksimalkan pengalaman ini.

Benar, sebuah situasi mungkin membutuhkan waktu lebih lama dari sekadar satu malam untuk diselesaikan. Namun, Paulus menyarankan agar ada langkah penyelesaian yang harus diambil – setidaknya di dalam hati orang Kristen – tentang kondisi yang mengganggu. Lagipula, Yesus berkata, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yohanes 14:27).

Jadi, meskipun menghadapi dilema yang mengganggu yang selalu muncul dalam pengalaman orang percaya dan pasangannya masing-masing, kenyataan tersebut tidak bisa lebih besar daripada damai sejahtera yang Yesus tawarkan. Damai sejahtera Allah membawa jaminan ketenangan, ketentraman, kelegaan, dan kedamaian bagi anak-anak-Nya. Daud menyarankan dalam Mazmur 4:5 agar kita merenungkan situasi yang penuh tekanan dengan ketenangan dan ketergantungan kepada Tuhan.

Terlepas dari betapa sulitnya situasi tersebut, seseorang harus memiliki sikap yang tenang sebelum dapat sepenuhnya menyelesaikan masalah yang menjengkelkan dengan pasangannya. Ingatlah selalu janji Yesus: “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah” (Markus 10:27).

Anda dan pasangan Anda akan terus berdoa sambil memercayai Tuhan untuk menolong Anda menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga pernikahan Anda akan memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi-Nya.


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *