penciptaan, evolusi

PENCIPTAAN: MEMBENTUK DUNIA (1)

Belajar Firman Pendalaman Alkitab
Mari bagikan artikel ini

EVOLUSI TEISTIK

Kalau Anda seorang Kristen yang saleh dan kebetulan berprofesi sebagai guru fisika di sekolah negeri atau sekolah umum, bagaimana Anda hendak mengajar tentang penciptaan? Apakah Anda akan menggunakan konsep ilmu pengetahuan standar atau konsep alkitabiah? Untuk mengajarkannya menurut doktrin Alkitab pasti Anda akan dipersalahkan dan ditegur bahkan kemungkinan bakal terkena skors, sedangkan untuk mengajarkannya berdasarkan teori standar dari buku pelajaran akan menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap hati nurani.

Banyak orang berpendapat bahwa untuk menghindari konflik ini maka pengajaran tentang penciptaan harus menggunakan pendekatan ganda, yaitu dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sudut pandang Kitab Suci secara terpisah. Barangkali itu dapat dianggap sebagai gagasan yang arif. Tapi tampaknya, bagi sebagian orang, kontroversi ini —antara penciptaan alkitabiah bahwa Allah menciptakan “langit dan bumi” dalam enam hari dan penciptaan evolusioner dengan teori “Big Bang”—sudah menemukan solusi dalam apa yang disebut ajaran evolusi teistik. Dengan kata lain, doktrin evolusi teistik dianggap sebagai titik temu (middle ground) dari dua konsep penciptaan yang berlawanan tersebut.

Dalam menjelaskan tentang penciptaan, ada perbedaan antara “rumus ateis” dengan “rumus evolusi teistik.”

Rumus ateis adalah: Penciptaan=Materi+Faktor-faktor Evolusi+Waktu yang sangat lama.

Rumus evolusi teistik: Penciptaan=Materi+Faktor-faktor Evolusi+Waktu yang sangat lama+Tuhan.

Berdasarkan konsep evolusi teistik, Allah memang adalah Pencipta yang telah merancang alam semesta ini, namun bukan dengan cara berfirman dan juga bukan dalam waktu enam hari harfiah seperti tertulis dalam Alkitab. Tetapi Allah hanya menetapkan desain umum dan hukum alam, kemudian membiarkan alam itu berkembang secara bertahap dan lamban selama waktu yang diperlukan hingga akhirnya sampai pada keadaannya sekarang. Dengan demikian kisah penciptaan yang tertulis dalam kitab Kejadian itu, menurut pandangan evolusi teistik, harus dimaknai secara metaforal atau kiasan.

Evolusi teistik juga bersifat total, dalam arti semua bagian dan segmen di alam semesta ini berkembang secara evolusioner atau berlangsung tahap demi tahap dengan sangat lambat. Termasuk evolusi astronomis (pembentukan galaksi dan sistem tata surya), evolusi geologis (pembentukan Bumi), evolusi biologis (perkembangan kehidupan), dan lain-lainnya. Jadi, Allah hanya berperan di bagian awal saja dan tidak menentukan secara detil apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi membiarkan kepada alam itu sendiri yang menentukan apa yang akan muncul di kemudian hari.

Ini adalah tema umum di kalangan mereka yang mendukung berbagai bentuk evolusi teistik. Namun, gagasan demikian tidak sesuai dengan Kitab Suci atau dengan pemahaman kita tentang Penciptaan. Alam semesta tidak memiliki kehendak yang melekat pada dirinya sendiri. Penciptaan bukanlah sebuah entitas yang terpisah dari Allah, tapi sebaliknya adalah gelanggang yang Allah pilih di mana Dia dapat menyatakan kasih-Nya kepada makhluk-makhluk yang telah Dia ciptakan itu.

Suatu kali para mahasiswa datang kepada Albert Einstein dan berkata kepadanya bahwa mereka cenderung berpendapat bahwa Allah itu tidak ada. Sang profesor bertanya kepada mereka, “Sebagai satu kelas, berapa persen dari seluruh pengetahuan di dunia ini yang telah kalian miliki secara kolektif.” Para mahasiswa itu kemudian berembug sejenak lalu menjawab bahwa mereka yakin telah menguasai 5% dari semua pengetahuan yang ada. Einstein menganggap bahwa angka yang disebutkan itu terlalu boros, tapi dia berkata kepada mereka: “Apakah ada kemungkinan kalau Allah itu ada dalam 95% pengetahuan yang kalian tidak tahu?” Kita manusia seringkali terlalu percaya diri dengan pengetahuan yang kita miliki, seolah-olah kita sudah tahu segalanya, lalu dengan yakin membuat sesuatu kesimpulan berdasarkan pengetahuan yang sebenarnya masih terlalu sedikit itu.

  

AWAL PENCIPTAAN (Tidak Berbentuk dan Kosong) 

Alkitab menyatakan, pada waktu baru diciptakan Bumi kita ini “belum berbentuk dan kosong” (Kejadian 1:2). Dalam bahasa asli Perjanjian Lama anak kalimat ini tertulis וָבֹ֔הוּ תֹ֙הוּ֙, ṯōhūwāḇōhū. Entah mengapa kata ini—tohu wabohu —telah diangkat oleh sebuah kelompok band beraliran cadas (rock) bernama “KMFDM” dari kota Seattle, Washington, AS sebagai judul sebuah lagu dan sekaligus menjadi tajuk dari album mereka yang dirilis tahun 2007; istilah yang sama juga digunakan sebagai judul film seri yang ditayangkan di sebuah stasiun TV Austria. Mungkin lagu itu sebagai “protes sosial” terhadap keadaan dunia sekarang ini yang tidak menentu, dan sebagai judul film itu menggambarkan perilaku manusia yang semrawut. Pada awal penciptaannya kondisi fisik bumi ini yang kacau, dan menjelang akhir riwayatnya keadaan penghuni bumi ini yang kacau pula.

Frase tohu wabohu yang berasal dari bahasa Ibrani ini, sebagaimana terdapat pada permulaan ayat tersebut di atas, kemudian diserap ke dalam beberapa bahasa dunia antara lain bahasa Prancis dan Jerman sebagai ungkapan yang berarti “keadaan kacau balau.” Alkitab bahasa Jawa menerjemahkan bagian pertama dari ayat tersebut, “bumi kaanané isih ora karu-karuwan, tur sepi banget” (keadaan bumi masih tidak karuan, dan sepi sekali) —Purwaning Dumadi 1:2. Versi bahasa Sunda berbunyi, “harita bumi teh teu puguh wangunna, kaayaanana kacida matak geueumanana” (waktu itu bumi tidak jelas bentuknya, keadaannya sangat menimbulkan keangkeran) —Kejadian 1:2. Demikianlah kondisi fisik dari planet kita ini di awal penciptaan —kacau balau, tidak karuan, tak berbentuk bahkan menakutkan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Bumi belum layak untuk menjadi tempat tinggal makhluk hidup apapun.

Ayat-ayat selanjutnya menerangkan bagaimana Allah pertama kali membentuk dunia menjadi sebuah tempat yang dapat dihuni dan kemudian mengisinya dengan makhluk-makhluk hidup. Ayat tersebut tidak memberitahukan kepada kita kapan tepatnya bebatuan dan air di bumi terjadi, hanya bahwa dunia belum sesuai untuk kehidupan. Dunia ini menjadi cocok bagi makhluk-makhluk hidup hanya karena Allah bertindak untuk membuatnya demikian.

PENCIPTAAN
Enam hari penciptaan menurut Alkitab; setiap kali Tuhan menyelesaikan 1 hari penciptaan, Ia selalu mengakhiri dengan firman “jadilah petang dan pagi”. (Sumber gambar: goodsalt.com).

“Gap theory (teori kesenjangan).” Untuk apa Allah menciptakan Bumi? Kita menemukan jawaban atas pertanyaan penting ini dalam tulisan nabi Yesaya, “Sebab beginilah firman TUHAN, yang menciptakan langit —Dialah Allah —yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang menegakkannya, dan Ia menciptakannya bukan supaya kosong, tetapi Ia membentuknya untuk didiami…” (Yesaya 45:18). Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan “kosong” dalam ayat ini sama dengan kata yang digunakan dalam Kejadian 1:2, yaitu תֹ֙הוּ֙, ṯōhū. Atas dasar perbandingan kedua ayat ini—Kejadian 1:2 dan Yesaya 45:18—muncul spekulasi yang salah bahwa periode tohu wabohu (bumi yang kacau dan kosong) ini adalah waktu terjadinya proses evolusi sebagaimana yang dimaksudkan oleh ilmu pengetahuan standar, suatu masa yang kemungkinan berlangsung selama milyaran tahun itu.

Berdasarkan spekulasi tersebut lahirlah apa yang disebut “gap theory” (= teori kesenjangan), sebuah teori yang dianggap dapat menjembatani doktrin penciptaan alkitabiah dengan konsep penciptaan menurut ilmu pengetahuan standar. Menurut teori ini, ada suatu “masa kesenjangan” antara ayat 2 dan ayat 3 dari Kejadian pasal 1, yaitu waktu antara Bumi yang sudah ada tapi masih kacau balau dengan waktu ketika Allah memulai minggu penciptaan itu. Lebih jauh lagi teori ini menyebutkan bahwa masa kesenjangan tersebut adalah masa ketika Setan masih menguasai bumi ini dan menghancurluluhkannya, sebelum Allah kemudian bertindak untuk melaksanakan maksud-Nya agar bumi ini tidak dibiarkan kacau dan tetap kosong tetapi siap untuk dihuni makhluk-makhluk hidup yang direncanakan-Nya. Dengan kata lain, proses selanjutnya yang dimulai dari Kejadian 1:3 dan seterusnya itu adalah recreation (penciptaan kembali) oleh Allah.

“Teori kesenjangan” yang bukan hanya salah dan tidak Alkitabiah, namun juga terkesan sangat dipaksakan itu pertama kali dicetuskan oleh Thomas Chalmers (1780-1847), seorang teolog Skotlandia cukup terkenal dan juga guru besar pada Universitas Edinburgh, yang memperkenalkannya melalui ceramah-ceramahnya dalam tahun 1814. Tampaknya dia sangat dipengaruhi oleh pendapat-pendapat dari Simon Bischop (1583-1643), seorang teolog Belanda yang juga populer dengan nama Simon Episcopius (nama Latinnya). Prof. Chalmers terkenal sebagai salah seorang penulis dari seri buku Bridgewater Treatises (8 jilid) yang membahas tentang hubungan antara ilmu pengetahuan alam dengan ajaran Alkitab mengenai penciptaan. “Gap Theory” (sering juga disebut Gap creationism) besutannya itu mendapat dukungan dari rekan-rekannya sesama ilmuwan seperti William Buckland, Charles Bell, William Kirby yang turut menyusun seri buku tersebut, dan juga sejumlah pakar lainnya. Penulis terkini yang turut mempopulerkan gagasan “second creative act” (tindakan penciptaan kedua) ini adalah G.H. Pember dengan bukunya Earth’s Earliest Ages (Abad-abad Paling Dini dari Bumi) terbitan New York, 1900 yang mengalami cetak ulang sampai edisi ke-15 tahun 1942, dan Arthur C. Custance lewat bukunya berjudul Without Form and Void (Tanpa Bentuk dan Kosong) terbitan Brookville, Canada, 1970.

Ketika bumi pertama kali dihadirkan, itu belum cocok untuk kehidupan. Alkitab tidak mengatakan apa pun tentang periode waktu antara penciptaan mula-mula dari bebatuan dan air dengan penciptaan lingkungan dan makhluk-makhluk ciptaan. Beberapa ahli berpikir bahwa itu mungkin hanya sekejap; yang lainnya berpikir bahwa itu bisa saja setelah jangka waktu yang lama (suatu spekulasi yang tidak Alkitabiah tentunya).

Namun mari kita perhatikan apa yang pena inspirasi tuliskan supaya kita tidak terjebak dalam spekulasi-spekulasi salah dari “Gap Theori (Teori Kesenjangan)” itu: “Dalam membentuk dunia kita ini Allah tidak berhutang budi pada zat dan materi yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena ‘apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.’ Ibrani 11:3. Sebaliknya, segala hal, materi atau pun rohani, terdiri di hadapan Tuhan saat mendengar suara-Nya dan diciptakan untuk maksud-Nya sendiri. Langit dan semua tentaranya, bumi dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, bukan saja hasil pekerjaan tangan-Nya, semua itu diadakan oleh nafas mulut-Nya” (Selected Messages, jld. 3, hlm. 312).

Apa yang kita pelajari tentang keadaan Bumi pada awal penciptaan?

  1. Dari semula Allah telah merencanakan untuk menciptakan planet ini untuk kita tempati, dan untuk itu Dia lebih dulu menyiapkannya agar layak dihuni. Bumi ini dalam keadaan “kacau balau dan kosong” sebelum Allah membentuknya untuk menjadi habitat manusia dan makhluk-makhluk ciptaan lainnya.
  2. Manusia berusaha untuk memahami proses penciptaan ini, tetapi dengan kemampuan berpikir yang telah jauh merosot akibat dosa kita tidak sanggup untuk menguak rahasia penciptaan berdasarkan logika. Jika kita memaksakannya maka yang muncul adalah teori-teori spekulatif yang semakin membingungkan saja.
  3. Penciptaan yang disebutkan dalam Alkitab hanya bisa dan harus diterima oleh iman, bukan untuk dipahami dengan akal. Kemahakuasaan Allah yang tidak terikat pada hukum alam dan logika manusia itu terlalu tinggi untuk dapat dijangkau oleh pikiran manusia yang tunduk pada hukum alam dan dikendalikan oleh logika berpikir.

Bersambung… Penciptaan: Membentuk Dunia (2)


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *