AKU MAU MENGAWASI BIBIRKU

Renungan Harian
Mari bagikan artikel ini

Melatih Pengendalian Diri

Awasilah mulutku, ya Tuhan, berjagalah pada pintu bibirku. Mazmur 141:3

Barangkali tidak salah kalau dikatakan bahwa dalam penggunaan bahasa, baik orang muda maupun orang tua cenderung mencari dalih atas perkataan yang diucapkan dengan tergopoh-gopoh dan kurang sabar. Mereka menyangka cukuplah menyatakan dengan maaf, ”Aku lengah, dan sungguh tidak mengerti apa yang kukatakan.” Akan tetapi Firman Allah tidak memudahkannya dengan cara demikian. . . .

Gangguan hidup yang terbesar, kesusahan hati, kejengkelan, terjadi karena hati yang tak terkendalikan. Dalam sekejap saja, oleh perkataan yang tergopoh-gopoh, bernafsu dan semberono dapat mendatangkan dosa yang tak dapat dilupakan dalam penyesalan seumur hidup. Oh, hati yang pecah, teman-teman yang sudah menjauh, hidup yang rusak oleh perkataan kasar, perkataan tergopoh-gopoh dari mereka yang dapat menolong dan menghibur! . . . Dalam kekuatannya sendiri, manusia tidak dapat mengendalikan dirinya. Akan tetapi dengan perantaraan Kristus ia dapat memperoleh pengendalian diri sendiri.

Keteguhan yang seragam dan pengendalian yang tidak terdorong nafsu perlu untuk ketertiban setiap anggota keluarga. Dengan tenang katakanlah apa maksudmu, bertindaklah dengan pertimbangan dan lakukanlah apa yang engkau katakan tanpa penyimpangan. . . . Janganlah biarkan wajahmu menjadi masam atau sepatah kata yang kasar muncul dari bibirmu. Allah menulis semua perkataan ini di dalam buku catatanNya.

Kadang-kadang kalau bekerja terlalu keras menyebabkan hilangnya pengendalian diri. Akan tetapi Tuhan tak pernah terdorong berlaku tergesa-gesa, bertindak berlawanan. Banyak orang mengumpulkan beban untuk dirinya sendiri, yang tidak dibebankan Bapa yang di sorga kepada mereka. la tidak pernah berniat membuat mereka saling mengejar satu sama Iain dengan semberono. Allah menginginkan supaya kita menyadari bahwa kita tidak memuliakan namaNya bilamana kita memikul beban begitu banyak, karena kita dibebani tugas yang berlebihan sehingga kita mengalami lelah jantung dan lelah otak, marah, cerewet dan mencela. Kita hanya memikul tanggung jawab yang diserahkan Tuhan kepada kita, berharap kepadaNya, dan dengan demikianlah hati kita tetap bersih dan manis serta menaruh simpati.

Hidupku Kini, Hal. 83


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *