KASIH, KETAKUTAN, DAN PERCAKAPAN YANG SULIT DILAKUKAN

Pendalaman Alkitab
Mari bagikan artikel ini

Oleh Lynette Allcock

Saya duduk di kantor, menghadap atasan saya, gemetar dengan gugup meskipun wajah mereka ramah dan suara hati saya berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Saya ada di sana untuk menyampaikan sesuatu yang sulit, dan saya tidak menyukai situasi ini. Saya tahu bahwa apa yang harus saya katakan dapat disalahartikan, dan jika benar ini disalahartikan, pada akhirnya tidak akan ada perubahan, tetapi saya merasa terdorong untuk mencoba. Ada sesuatu yang lebih besar yang dipertaruhkan ketimbang kenyamanan saya.

Ketika saya meninggalkan kantor, saya berpikir bahwa saya tidak iri kepada para nabi di Alkitab. Tuhan selalu meminta mereka untuk melakukan percakapan yang sangat sulit dan berurusan dengan subjek yang tidak nyaman. Yesaya, misalnya, harus memberitahu umat Allah bahwa Allah membenci acara keagamaan mereka karena penindasan marak dilakukan dan keadilan diabaikan ( Yesaya 1 dan 58). Amos memiliki pesan yang serupa (Amos 5), begitu pula para nabi lainnya. Tuhan mencoba berulang kali untuk membalikkan hati umat-Nya dan membuat mereka membela keadilan, kasih, dan kebenaran (Zak. 7, Hos. 4, Yer. 7). Namun, pendengar yang dituju seringkali tidak mau mendengarkan. Faktanya, Yeremia berada pada titik di mana Ia ingin meninggalkan pelayanan kenabiannya karena ia sangat tidak populer (Yer. 20: 7–18). Bayangkan jika kita berada di posisi para utusan ini!

Namun ada saatnya dimana Tuhan meminta kita untuk berbicara tentang hal-hal yang sulit, baik di dalam ataupun di luar gereja. Bagaimanakah caranya agar kita sebagai gereja tidak takut untuk mengatasi masalah yang sulit? Jawabannya tentu rumit, tetapi saya harus mulai dengan apa yang paling dekat: hati saya; prioritas saya; motivasi saya.

Bagaimana saya bereaksi terhadap sebuah potensi konflik mengungkapkan apa yang sebenarnya memotivasi perilaku saya. Hal itu memperlihatkan prioritas tersembunyi yang ada di hati saya. Jika kenyamanan saya, posisi saya, gengsi saya, atau popularitas saya adalah perhatian utama saya, maka akan sulit bagi saya untuk berani mengungkapkan tema-tema yang sulit. Tetapi jika prioritas utama saya adalah kasih—pertama untuk Tuhan dan kemudian untuk orang lain—saya akan menemukan kekuatan untuk melewati ketakutan saya. Sebagai seorang Kristen, saya tidak ingin didorong oleh ketakutan akan pendapat dan reaksi orang lain. Sebagai gantinya, kasih harus memotivasi saya karena saya percaya bahwa Tuhan akan mengurus apa yang terjadi selanjutnya (Mat. 22: 36–40; 2 Tim. 1: 7; 1 Kor. 15: 58). Yesus berkata bahwa dunia akan tahu bahwa kita adalah murid-Nya karena kasih kita (Yohanes 13: 35), dan Paulus mengarahkan bahwa berbicara kebenaran harus dilakukan dalam kasih (Ef. 4: 15). Ketika kasih disempurnakan dalam diri kita, rasa takut akan kehilangan kekuatannya (1 Yohanes 4: 18).

Apakah Tuhan meminta Anda untuk melakukan percakapan yang sulit? Apakah Anda takut bagaimana orang lain akan bereaksi ketika Anda mengemukakan masalah yang sensitif? Maka ingatlah dengan sabda-Nya: “Janganlah takut jika diaibkan oleh manusia dan janganlah terkejut jika dinista oleh mereka …. Akulah, Akulah yang akan menghibur kamu. Siapakah engkau maka engkau takut terhadap manusia yang memang akan mati, terhadap anak manusia yang dibuang seperti rumput, sehingga engkau melupakan Tuhan yang menjadikan engkau …. Sebab Akulah TUHAN, Allahmu ….Tuhan semesta alam nama-Nya. Aku menaruh firman-Ku ke dalam mulutmu dan menyembunyikan engkau dalam naungan tanganku” (Yes. 51: 7–16).

Semoga kasih kepada sang Pencipta dan kepada sesama memotivasi kita untuk memiliki keberanian, bahkan jika Allah meminta kita untuk mengatasi masalah yang sulit.


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *