OH, BETAPA KUCINTAI TAURAT-MU

Pendalaman Alkitab
Mari bagikan artikel ini

Oleh A. Rahel Schafer

Banyak orang Kristen sekarang ini memikirkan hukum dalam pengertian penghakiman dan hukuman yang diakibatkan dari ketidakmenurutan. Sayangnya, kita jadi lupa untuk mencintai hukum itu!

Sebagai mazmur terpanjang dalam Alkitab, Mazmur 119 bukanlah tentang kasih Allah atau bahkan kesucian-Nya, tetapi didedikasikan untuk menyukai hukum Allah. Kegembiraan ini mencerminkan hasil perenungan pada kata pengantar dari Sepuluh Hukum: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel. 20:2). Meskipun sering dilewatkan, ayat pengantar ini menentukan sifat dari rangkaian hukum Allah ini. Maksud dari hukum ini bukanlah penurutan pada raja lalim yang keras, atau menyenangkan dewa yang berubahubah. Tetapi, Allah Sendiri memberikan alasan utama bagi pemeliharaan hukumNya: rasa syukur pribadi atas penebusanNya.

Buku Ulangan (Deuteronomy) memperluas dan menguraikan secara rinci Sepuluh Hukum dalam bentuk khotbah. Kata “Deuteronomy” berarti “hukum kedua,” tetapi dalam Bahasa Ibrani, buku itu sebenarnya mengacu pada “instruksi” (atau Torah). Setiap tujuh tahun, Bangsa Israel membaca seluruh buku bersamasama (Ul. 31:10-13). Bahkan yang lebih penting, Ulangan 17:14-20 menyuruh setiap raja, sebagai perwakilan/ atau teladan bangsa, untuk menulis sendiri seluruh salinan hukum itu pada permulaan pemerintahannya. Ayat ini memperlihatkan dengan jelas empat alasan utama pentingnya hukum Allah.

  1. 1. Penurutan adalah respons rasa syukur bagi kelepasan—“Apabila engkau telah masuk ke negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu,… maka hanyalah raja yang dipilih TUHAN, Allahmu, yang harus kau angkat atasmu…. Apabila ia [raja itu] duduk di atas takhta kerajaan, maka haruslah ia menyuruh menulis baginya salinan hukum ini menurut kitab yang ada pada imam-imam orang Lewi” (Ul. 17:14-18). Pemeliharaan oleh Allah tetap membentuk fondasi bagi penurutan; negeri dan kerajaan itu sendiri didapatkan hanya melalui pekerjaan Allah. Hukum itu menggambarkan satu perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Memang, seluruh buku Ulangan disusun seperti banyak perjanjian politik di masa itu, mulai dengan menceritakan kembali semua pertolongan yang Suzerain (Allah) lakukan bagi para budak (Israel) dalam melepaskan mereka (dari Mesir), dan kemudian menetapkan ketentuan-ketentuan perjanjian sebagai satu respons rasa syukur. Dalam Perjanjian Baru juga, Yesus mengingatkan para murid-Nya bahwa penurutan kepada hukum Allah erat kaitannya dengan kasih kepada Dia; Ia berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15).
  2. Melalui perenungan akan Firman Allah, Allah menyanggupkan kita untuk menurut—“Itulah [salinan hukum yang ditulisnya] yang harus ada di sampingnya dan haruslah ia membacanya seumur hidupnya untuk belajar takut akan TUHAN, Allahnya, dengan berpegang pada segala isi hukum dan ketetapan ini untuk dilakukannya” (Ul. 17:19). Merenungkan instruksi Allah terjadi sebelum penurutan. Melalui waktu yang digunakan dalam Firman Allah, Allah menyanggupkan sang raja untuk menuruti hukum. Sejak permulaan, umat Allah selalu merupakan orang-orang yang memelihara hukumNya sementara hatinya berhubungan dengan Dia. Allah Sendiri berjanji menyunat hati mereka, agar mereka bisa mengikuti peraturan-Nya (Ul. 30:6). Jadi, Sepuluh Hukum dapat dibaca sebagai 10 janji (mis., “[Aku berjanji] kau tidak akan menyembah allah lain di hadapan-Ku”). Yesus mengulangi prinsip ini dalam Perjanjian Baru dengan menyebut diri-Nya sendiri pokok anggur dan para pengikut-Nya sebagai rantingranting, yang akan menghasilkan buah hanya bila mereka tinggal di dalam Dia, dan Ia membentuk mereka ke dalam gambar-Nya (Yoh. 15:1-8).
  3. Hukum menyediakan perlindungan—“supaya jangan ia tinggi hati terhadap saudara-saudaranya, supaya jangan ia menyimpang dari perintah itu ke kanan atau ke kiri” (Ul. 17:20). Hukum juga berguna untuk menyatakan kejahatan dosa. Tanpa hukum, manusia tidak akan mengetahui kapan mereka telah menyimpang dari jalan sempit dan lurus menuju gambar Allah. Dan tidak seperti persyaratan dewa-dewa lain, hukum Allah tidak membingungkan atau berubah-ubah (Ul. 30:11-16). Ditulis dalam kepentingan orang lain, hukum melindungi kehidupan dan martabat, hubungan dan hak milik. Jadi, hukum itu tidak menjadi rintangan yang menahan kita dari menikmati dunia dan kesenangannya, tetapi merupakan satu pagar yang melindungi kita dari dunia dan bahaya-bahayanya.

Sesungguhnya, hukum Allah itu kekal dan tidak berubah-ubah. Sepuluh Hukum dikenal sebelum Sinai (mis., Kej. 2:2, 3; 4:8-12; 26:7; 39: 7-9). Meskipun Paulus bergembira karena ia bebas dari perbudakan hukum di dalam Kristus, ia menyamakan kebebasan di dalam Kristus ini dengan perhambaan kepada Allah (Roma 6:15-22). Perhambaan yang dimaksudkan Paulus adalah perbudakan dosa yang mencegah kita dari menuruti hukum, tetapi yang dipatahkan oleh menerima penurutan sempurna Kristus untuk kita (Roma 8:3, 4), Yohanes pewahyu mengulangi bahwa mereka yang mengikut Allah di akhir zaman akan menuruti hukum-Nya (Wahyu 14:12).

  1. Reputasi Allah dipertaruhkan—“agar lama ia memerintah, ia dan anak-anaknya di tengah-tengah orang Israel” (Ul. 17:20). Akhirnya, menuruti hukum itu tentang memulihkan nama dan tabiat Allah yang telah dinodai oleh dosa-dosa umat-Nya. Bangsa-bangsa di sekitar menghargai dewa-dewa berdasarkan pada pandangan mereka tentang kemampuan dewanya itu untuk melindungi dan memberkati bangsa dan negeri mereka. Jadi, demi nama-Nya yang telah dicemari oleh umat-Nya di hadapan dunia, Allah berjanji memberikan hati yang baru kepada umat-Nya, dan menyebabkan mereka berjalan di jalan-jalan-Nya (Yeh. 36:22). Dalam cara yang sama, sudut pandang kita pada hukum Allah harus mencakup arti kosmik dari penurutan kita. Bila kita menuruti hukum Allah, yang merupakan pantulan dari tabiat-Nya, maka kita adalah seorang saksi kepada alam semesta bahwa Allah kita itu setia, adil, dan benar (Mat. 5:16; Rm. 7:12; Ibr. 8:8-10; 1 Yoh. 5:2, 3). Orang-orang Kristen seharusnya tidak fokus pada kesulitan-kesulitan menuruti hukum Allah, tetapi dengan semangat mencari segala cara yang mungkin menunjukkan rasa syukur kita kepada Juruselamat kita. Tidak ada harapan menuruti hukum dengan kekuatan sendiri, tetapi kita telah ditebus oleh darah Anak Domba, dan sedang diubahkan menurut gambar Kristus oleh Roh Kudus. Hukum melindungi kita dari perbudakan dosa, dan bahkan menyediakan banyak kesempatan untuk bersaksi dan membawa kehormatan bagi nama Allah. Gantinya memandang hukum sebagai persyaratan yang membebani bagi keselamatan, kita bisa dengan sukacita menceritakan bagaimana Allah telah melepaskan kita dari dosa, dan bahwa melayani Dia itu merupakan satu keistimewaan bagi kita.

“Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari” (Mzm. 119:97).


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *