Sebuah Harapan Dari Luar Dunia Ini

Blog AFI
Mari bagikan artikel ini

Menghabiskan 55 tahun dilemahkan oleh sejenis sklerosis lateral amyotrophic, penyakit yang dikenal sebagai Penyakit Lou Gehrig, kemungkinan membantu membentuk pandangan akhir Stephen Hawking mengenai Tuhan dan akhirat.

Fisikawan terkemuka, yang disebut “legenda” di satu akun media dan “ilmuwan paling terkemuka Inggris” oleh surat kabar negeri Guardian, meninggal pagi hari tanggal 14 Maret. Buku terlarisnya, A Brief History of Time, berusaha keras menerangkan asal usul alam semesta lepas dari pandangan alkitabiah mengenai penciptaan. Buku itu terjual lebih dari 10 juta salinan sejak diterbitkan tahun 1998.

“Saya menganggap otak sebagai sebuah computer yang akan berhenti bekerja ketika komponen nya rusak,” kata Hawking kepada Guardian pada 2011. Dia menambahkan, “Tidak ada surga atau pun neraka bagi komputer yang rusak; itu hanya kisah dongeng bagi orang-orang yang takut kegelapan.”

Hawking termasuk diantara orang terdidik-terbaik pada generasinya, belajar di Universitas Oxford dan Cambridge – tahun 1979 menjadi Professor Lucasian Matematika di Cambridge, sebuah jabatan yang pernah dipegang oleh Tuan Isaac Newton, seorang Kristen.

Meskipun hanya mampu berkomunikasi dengan menggunakan satu tangan untuk bekerja menyadap pesan, sebuah komputer integrasi akan membacanya, Hawking mampu menjangkau khalayak luas dalam kelas, wawancara, dan penampilan di program televise popular di Inggris dan Amerika.

 

Bagian dari pengaruh dan kesuksesan nya adalah karena kecemerlangannya yang terbantahkan dalam bidangnya. Hawking membuat penemuan berharga tentang fisika, menantang teori lama yang sudah dibangun, dan menjadi sebuah teladan bagi generasi mahasiswa sains pada tingkat universitas. Ketekunannya dalam menghadapi penyakit yang melumpuhkan, hidup berpuluh-puluh tahun jauh dari perkiraan “dua atau tiga tahun” ketika dia di diagnosa pada umur 22, menginspirasi jutaan orang yang bergumul dengan kecacatan atau keadaan sulit dalam kehidupan mereka sendiri.

“Saya tidak takut kematian, namun saya tidak sedang buru-buru untuk mati. Saya punya banyak hal yang ingin saya lakukan terlebih dahulu,” kata nya. Optimism itu merupakan bagian dari paradoks Hawking yang meninggalkan kita. Disini seorang pria yang pada terutama di akhir hidupnya, menolak kemungkinan keterlibatan Tuhan dalam dunia. Hawking memuji “hukum fisika,” lebih dari Pencipta hukum-hukum itu, sebagai alasan keberadaan dunia kita ini.

Pada saat yang sama, dia menawarkan pesan optimis bagi mereka yang dalam keadaan sulit: “Bagaimanapun buruknya hidup, selalu ada sesuatu yang anda dapat lakukan dan berhasil. Dimana ada kehidupan, ada harapan.”

 

Tetapi berharap apa? Untuk apa? Dan Mengapa?

Jika harapan Stephen Hawking adalah pada pencapaian dan pengertian ilmiah, maka dalam arti ini ia benar ketika mengatakan otak hanya berhenti saat kematian. Penulis kitab Pengkhotbah mengatakan demikian: “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu sekuar tenaga, karena tak da pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat dalam dunia orang mati, kemana engkau akan pergi” (9:10). Dalam hal kehidupan dan prestasi duniawi kita, kematian memang menarik garis dibawah mereka.

Tapi umat manusia tidak datang ke dunia ini secara kebetulan, atau bahkan oleh hukum fisika. Kita diciptakan oleh Tuhan yang sangat mengasihi manusia sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, Yesus, untuk menebus kita dari kutukan dosa (Yohanes 3:16). Mereka yang menerima Yesus dan pengorbanan-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa mereka menerima kehidupan kekal.

Ya, ada sesuatu yang bisa diharapkan.

Ditulis oleh Mark A. Kellner.


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *