Oleh Chantal J. Klingbeil
Bertumbuh melampaui rasa takut
Apakah yang diperlukan untuk membuat Anda berbahagia?
Mungkin Anda bisa memikirkan beberapa hal secara spontan. Beberapa dari kita memikirkan pernikahan yang lebih baik, kesehatan yang lebih baik, atau bahkan sepasang sepatu baru akan membuat satu perbedaan. Bagi sebagian besar kita, pengalaman telah mengajarkan kita bahwa kebahagiaan yang berdasarkan pada keadaan atau benda itu tidak bertahan lama. Tetapi marilah kita ajukan pertanyaan dari sudut berbeda. Apakah yang diperlukan untuk membuat Anda takut? Beberapa dari kita, takut kepada ular, yang lain takut laba-laba. Kita semua takut dengan bayangan-bayangan aneh yang melayang-layang di atas jendela kita pada malam hari. Kemudian ada yang takut mendapatkan kanker, kesepian, atau menjadi tua—daftarnya terus berlanjut. Dan tidak seperti kebahagiaan, kita mengetahui bahwa rasa takut memiliki cara untuk kembali hari demi hari, tahun demi tahun.
Penanganan Allah Terhadap Rasa Takut
Rasa takut kelihatannya terjalin dalam gen-gen manusia kita, dan kita semua harus bergumul dengannya dalam beberapa bentuk, di suatu tempat, di suatu waktu. Meskipun Allah suka orang yang takut, Ia tidak bisa hadir bersamaan dengan rasa takut, karena: “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan” (1 Yoh. 4:18). Allah memiliki cara yang aneh mengatasi rasa takut. Ia tidak memberikan keadaan atau benda baru. Ia hanya memberitahu kita agar tidak takut.
Hampir semua komunikasi antara Ilahi dan kita, manusia yang penuh rasa takut, mulai dengan pancaran terang sayap malaikat dan kalimat yang dikenal baik “jangan takut.” Ingat kisah tentang panggilan Yosua? Menghadapi tugas yang kelihatannya terlalu berat untuk ditanggulangi, Allah berkata kepada Yosua, “Janganlah kecut dan tawar hati” (Yosua 1:9). Ketika Salomo menghadapi tantangan menggantikan kedudukan Daud yang terlalu berat, ia diberitahu, “Jangan takut” (1 Taw. 22:13). Yeremia dihadapkan dengan tugas yang lebih berat lagi: ia harus menjadi juru bicara Allah di satu masa ketika kehancuran Yerusalem hanya beberapa tahun lagi. Kendati akan adanya kemalangan yang sudah pasti, Allah memberitahu dia, “Janganlah takut” (Yeremia 1:8).
Meskipun perintah sederhana untuk tidak takut mungkin tampak bagus di atas kertas, itu jauh lebih sulit diterapkan menunggu di luar ruangan intensive care unit. Kata-kata mungkin terdengar hampa, tak berbelas kasihan, dan bahkan tak mungkin, tetapi kita melupakan siapa yang memberitahu kita untuk tidak takut. Allah tidak asing dengan rasa takut. Yesus bergumul dengan rasa takut di Taman Getsemani. Bukan skenario khayalan atau suara-suara aneh di malam hari yang membuat-Nya berkeringat darah. Tetapi pengetahuan tentang rasa sakit, perpisahan, dan lubang pemisah dari kematian kedua yang Kristus hadapi. Ia menghadapi dan menaklukkan bukan hanya kekuatan kematian, tetapi juga kekuatan dari rasa takut.
Kisah Dua Wanita
Dua wanita bertemu, satu wanita tua mandul, yang lain seorang perawan muda. Wanita yang tua telah menghadapi pandangan merendahkan sepanjang hidupnya, tuduhan-tuduhan yang dibisikkan, dan rasa takut yang menggerogoti kalau-kalau tidak diterima oleh Allah. Sekarang kedua wanita itu sedang mengandung, melalui campur tangan Allah yang ajaib. Tahun-tahun panjang kemandulan telah mengajarkan Elisabet tentang melawan rasa takut dan menemukan kebahagiaan di luar dari keadaan yang ideal. Elisabet menawarkan penangkal rasa takut kepada Maria. Maria akan memerlukannya. Ia juga tidak akan menjalani kehidupan dongeng juga. Kebahagiaannya sudah pasti tidak akan ditemukan dalam keadaan. Ia harus menjelaskan kisah yang tak terpercaya tentang kehamilannya itu kepada keluarganya. Tunangannya akan memutuskan untuk meninggalkan dia, dan selalu ada aturan kematian dengan dilempari batu karena perzinaan yang harus dikhawatirkan. Tiga puluh tiga tahun kemudian sebilah pedang akan menembus hatinya sendiri menyaksikan Anak-Nya dipakukan di salib, berjuang menarik napas.
Elisabet berkata, “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana!” (Lukas 1:45). “Diberkatilah ia” (Blessed is she—dengan kata lain, “Berbahagialah ia.” Elisabet sedang memberitahu Maria bahwa kebahagiaan tidak ada kaitannya dengan keadaan ideal. Kebahagiaan akan berarti menghadapi rasa takutnya dan kemudian memilih untuk menuruti perintah Allah bukan takut. Itu berarti menerima Firman Allah, meminta janji-janji-Nya. Elisabet berkata bahwa ada kedamaian dalam mempercayai bahwa Allah bermaksud baik bagimu. Ia mengetahui bahwa menerima Firman Allah berarti memercayai bahwa Ia mengasihimu, memercayai bahwa Ia peduli denganmu dan milikmu. Iman ini mengetahui bahwa Ia memiliki sesuatu yang lebih baik ketika keadaan tidak seperti yang Anda harapkan.
Apakah Maria memahami segala sesuatu tentang rasa takut, kebahagiaan, dan semua perubahan tak terduga dalam hidup pelayanannya kepada Allah? Tidak, ia tidak mengerti itu semua. Maria terseret dan kebingungan dengan Anaknya yang sempurna itu. Ia juga harus mempelajari bahwa “takhta Daud, bapa leluhur-Nya” (ayat 32) bukan takhta duniawi. Ia juga harus belajar bahwa pemikiran Allah bukan pemikiran kita, juga jalan-Nya bukan jalan kita (Yes. 55:8). Ia belum mengetahui bahwa rencana keselamatan Allah melibatkan waktu dan kekekalan, bumi dan alam semesta. Maria tidak memiliki gambar besarnya, tetapi ia cukup mengetahui untuk percaya. Ia memilih untuk melangkah maju dalam iman. Seperti Hana, yang menyanyikan lagu inspirasi saat menghadapi rasa takutnya dan meninggalkan harta miliknya yang terbesar—Samuel kecil—di tangan Allah, Maria mulai bernyanyi. Lagunya bergetar dengan kebahagiaan. Keyakinan Maria mengetahui bahwa Allah adalah Juruselamatnya. Ini cukup untuk membiarkan rohnya bergembira meskipun ia belum sepenuhnya mengerti rencana keselamatan Allah atau bagiannya di dalam rencana itu. Setelah pertemuannya dengan malaikat, Maria tahu pasti bahwa Allah telah memperhatikan dia (Lukas 1:48). Di tengah padatnya jutaan penduduk dunia ia tidak akan pernah menjadi orang yang tak dikenal. Keadaan mungkin bisa jadi sulit, tetapi Maria dapat memandang Allah yang mengingat janji-janji-Nya (ayat 54). Ia bebas memimpikan hal yang besar, “Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil” (ayat 37).
Maria memiliki keistimewaan unik melihat janji Allah bertumbuh di hadapannya. Ia memiliki keistimewaan memegang Dia yang akan merangkul umat manusia. Ia mengenal Yesus dan tidak pernah meragukan kasih-Nya bahkan pada hari Jumat gelap dan menakutkan itu. Tidak heran ia disebut berbahagia.
Apakah yang diperlukan agar Anda dan saya berbahagia? Allah telah memperhatikan kita. Kita bisa memandang di atas keadaan dan rasa takut kita. Kita bisa bernyanyi, bukan karena apa yang terjadi, di lingkungan sekitar kita. Diberkatilah, ya, berbahagialah “mereka yang tidak melihat, namun percaya” (Yohanes 20:29)