Karena sebagian besar penganiayaan terhadap orang Kristen di seluruh dunia dilakukan di daerah terpencil, tidak mungkin untuk mengetahui secara akurat berapa banyak yang dianiaya karena iman mereka. Beberapa perkiraan mencapai 200 juta orang di 60 negara. Diperkirakan juga bahwa ribuan orang Kristen menjadi martir setiap tahun. Seorang anak laki-laki bernama Petrus tinggal di negara yang diambil alih oleh pemerintah komunis. Ibu dan ayahnya adalah orang Kristen. Dilarang berbicara kepada orang lain tentang Tuhan, tetapi orang tua Petrus terus melakukannya. Akhirnya mereka ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Petrus kemudian dikirim ke kamp khusus di mana orang-orang mencoba melatihnya untuk melupakan Tuhan. Anak-anak lain di sana bekerja sama dengan pelatih mereka, tetapi Peter tidak mau mengesampingkan keyakinannya. Anak-anak lain menjauhinya dan mengolok-oloknya. Terpisah dari keluarganya dan sangat kesepian, dia berdoa memohon bantuan. Setiap hari Tuhan memberinya kekuatan untuk menolak “pelatihan”.
Dengan Yesus sebagai Sahabatnya yang memberinya kekuatan, Petrus tetap setia di bawah tekanan yang ekstrem. Akhirnya, kamp pelatihan menyerah padanya dan dia dikirim kembali ke keluarganya. Karena keyakinannya yang kuat akan “hal-hal yang tidak terlihat”, Petrus tidak mau melepaskan imannya. Dan karena dia mengenal Yesus jauh lebih baik melalui penganiayaannya, pencobaannya menjadi berkat.
Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal. 2 Korintus 4:16-18.
-Doug Batchelor-