Mengapa Perjanjian Lama Gagal

Mengapa Perjanjian Lama Gagal

Bank Pustaka
Mari bagikan artikel ini

BK-OCF
ALASAN PERJANJIAN LAMA GAGAL

Beberapa waktu yang lalu saya turun dari podium dengan terburu-buru menuju pintu depan untuk menyalami orang pada penutupan KKR. Tiba-tiba langkah saya terhalang oleh tiga orang muda, salah satunya berkata kepada saya dengan suara yang cukup keras. Dia berkata, “Saudara Joe, kami kecewa dengan cara anda membawa kita kembali di bawah Perjanjian lama malam ini dengan mengkhotbahkan Sabat hari ketujuh. Apakah anda tidak menyadari bahwa kita sekarang ini hidup di bawah Perjanjian Baru dan menyucikan hari Minggu gantinya hari Sabat?

Pria muda itu menyuarakan keyakinan beribu-ribu umat Kristen zaman ini yang dengan tulus mempercayai bahwa Sepuluh Hukum merupakan Perjanjian Lama, yang dihapuskan di kayu salib dan karena itu tidak dipraktekkan lagi oleh umat Kristen yang diselamatkan oleh kasih karunia. Apakah ini benar? Jika iya, kita pastinya membutuhkan pemberitahuan yang jelas mengenai doktrin untuk terhindar dari legalisme yang mematikan. Di samping itu, jika Sepuluh Hukum masih berlaku, maka sangatlah tragis jika menghiraukan hanya satu saja dari hukum moral tersebut.

Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa ada pernyataan di buku Perjanjian Lama yang menyatakan bahwa Sepuluh Hukum sebagai sebuah perjanjian; namun, tujuan kami disini adalah untuk menunjukkan bahwa Sepuluh Hukum bukanlah Perjanjian Lama yang dihapuskan.
Tapi sebelum kita menggali topik luar biasa ini, kita perlu menjelaskan apa sebenarnya makna dari sebuah perjanjian. Ada banyak tipe dan bentuk sebuah perjanjian, tapi pada dasarnya merupakan sebuah perjanjian antara dua pihak berdasarkan perjanjian yang saling menguntungkan. Sepanjang zaman, Tuhan telah berhadapan dengan umat-Nya berdasarkan perjanjian-perjanjian. Ia adalah Tuhan yang beralasan, dan Ia mengajak, “Marilah, baiklah kita berperkara!” Yesaya 1:18.

Terkadang Tuhan membuat perjanjian dengan pribadi-pribadi seperti kepada Musa, Abraham, dan Daud, dan kadang-kadang dengan bangsa Israel. Perjanjian yang paling penting di atas yang lainnya sudah dibuat jauh sebelum dunia ini dijadikan. Perjanjian tersebut adalah antara Bapa dan Anak dan pada akhirnya berhubungan dengan dosa. Yesus menyerahkan Diri-Nya pada waktu itu sebagai “Anak Domba yang tersembelih, daripada asas dunia ini.” Wahyu 13:8 (ITL). Dia setuju untuk menjadi korban pendamaian untuk menebus manusia, apabila Adam dan Hawa memilih untuk jatuh ke dalam dosa.

Istilah perjanjian kekal tersebut tidak pernah berubah atau digantikan. Meskipun banyak perjanjian lain yang telah dibuat selama bertahun-tahun, ketetapan sederhana bahwa keselamatan oleh iman masih berlaku sepanjang zaman, untuk semua manusia.
Meskipun perjanjian yang telah menyebabkan banyak kesalahpahaman disebut sebagai “Perjanjian Lama” oleh penulis kitab Ibrani, dia juga menjelaskan pembentukan perjanjian baru yang memiliki beberapa keuntungan sangat penting atas perjanjian yang lama. Berikut ini bagaimana dia menjelaskan keduanya: “Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi Pengantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan atas janji yang lebih tinggi. Sebab, sekiranya perjanjian yang pertama itu tidak bercacat, tidak akan dicari lagi tempat untuk yang kedua. Sebab Ia menegor mereka ketika Ia berkata: “Sesungguhnya, akan datang waktunya,” demikianlah firman Tuhan, “Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan dengan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka, pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Sebab mereka tidak setia kepada perjanjian-Ku, dan Aku menolak mereka,” demikian firman Tuhan. “Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu,” demikianlah firman Tuhan. “Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku…. Sebab Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka.” Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya.” Ibrani 8:6-13.

Gambaran di atas tidak memberikan keraguan sehubungan dengan Perjanjian Lama. Perjanjian Lama dihapuskan untuk yang baru yang memiliki janji yang lebih baik. Tentu saja, kita tertarik untuk mengetahui segala sesuatu tentang perjanjian baru yang akan menaruh hukum Allah di dalam hati dan pikiran. Tapi kita juga perlu memahami sifat dari perjanjian yang telah dihapuskan. Berjuta-juta orang telah diajarkan bahwa perjanjian tersebut adalah Sepuluh Hukum Allah. Mereka bermegah karena dibebaskan dari hukum dan menyatakan berjalan dalam kebebasan agung dari ketetapan Perjanjian Lama yang berdasarkan perbuatan.

 

Perjanjian Lama – Bukan Sepuluh Hukum
Apakah ini berdasarkan Alkitab? Apakah sama pentingnya memahami apa yang bukan Perjanjian Lama, dan apa yang termasuk Perjanjian Lama? Sekarang, mari kita lihat tiga bukti absolut yang menyatakan bahwa perjanjian yang dihapuskan bukanlah Sepuluh Hukum. Kemudian kita akan memutuskan dengan membandingkan ayat demi ayat apa yang dimaksud dengan Perjanjian Lama.

Pertama-tama, kita mengetahui bahwa Perjanjian Lama memiliki janji-janji yang cacat. Perjanjian Baru dikatakan, “didasarkan atas janji yang lebih tinggi.” Ayat 6. Beritahu saya, apakah ada seseorang yang dapat menunjukkan janji yang bercacat dalam Sepuluh Hukum? Tidak ada. Sebaliknya, Paulus menyatakan bahwa janji-janjinya sangat baik. “Anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan: karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu–ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi.” Efesus 6:1-3.

Hanya pernyataan tersebut cukup untuk menunjukkan bahwa penulis kitab Ibrani tidak menuduh hukum moral memiliki janji-janji yang bercacat. Perjanjian Lama, apapun kemungkinannya, tidak akan pernah mencakup Sepuluh Hukum.
Hal kedua yang salah dengan Perjanjian Lama adalah memiliki cacat. Alkitab berkata, “Sebab sekiranya perjanjian yang pertama itu tidak bercacat, tidak akan dicari lagi tempat untuk yang kedua.” Ibrani 8:7. Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah ada seseorang yang dapat menemukan satu kesalahan atau cacat dalam tulisan Allah? Pemazmur berkata, “Taurat Tuhan itu sempurna, menyegarkan jiwa.” Mazmur 19:7. Paulus menulis, “Jadi hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik.” Roma 7:12.
Apakah perjanjian tersebut terdengar lemah dan tidak sempurna? Tidak ada hukum yang sempurna namun cacat pada saat yang bersamaan. Semakin jelas bahwa Perjanjian Lama tidaklah mungkin Sepuluh Hukum.
Meskipun pada akhirnya, kita membaca hal paling dramatis mengenai Perjanjian Lama – dihapuskan! “Oleh karena Ia berkata-kata tentang perjanjian yang baru, Ia menyatakan yang pertama sebagai perjanjian yang telah menjadi tua. Dan apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya.” Ibrani 8:13. Sekarang kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan serius yang dapat menghapuskan setiap keraguan mengenai hal ini. Apakah hukum moral utama yaitu Sepuluh Hukum dihapuskan? Setiap orang yang membaca Perjanjian Baru harusnya menjawab, Tentu saja tidak. Paulus menegaskan pertentangan pasti mengenai hukum. Dia bertanya, “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.” Roma 3:31.
Apakah isi Alkitab saling bertentangan? Dapatkah sesuatu dihapuskan dan didirikan pada saat yang bersamaan? Bukankah penulis yang sama menyatakan hal yang berlawanan mengenai hukum yang sama? Yakinlah bahwa Paulus bukan menyatakan bahwa Perjanjian Lama adalah hukum, mari kita masukkan kata “Perjanjian Lama” gantinya kata “hukum” dalam Roma 3:31. “Jika demikian, adakah kami membatalkan Perjanjian Lama karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.”

Bukankah itu tidak tepat? Kita tahu bahwaa Perjanjian Lama telah dihapuskan dan tidak bisa dibicarakan seperti halnya di atas. Jadi sangat jelas, kita dapat melihat bahwa perjanjian yang dihapuskan tidaklah mungkin Sepuluh Hukum.

 

Apakah yang Dimaksud dengan Perjanjian Lama?
Setelah mengetahui apa yang tidak termasuk Perjanjian Lama, sekarang kita siap mengidentifikasinya secara khusus Dari Firman Tuhan. Untuk melakukannya, kita harus kembali ke Alkitab dalam buku Keluaran. Banyak orang yang gagal melihat bahwa ada lebih dari satu perjanjian yang disebutkan di Gunung Sinai. Tuhan memanggil Musa naik ke atas gunung sebelum Ia memberikan hukum dan mengajukan perjanjian antara Ia dan umat-Nya: “Lalu naiklah Musa menghadap Allah, dan Tuhan berseru dari gunung itu kepadanya: “Beginilah kaukatakan kepada keturunan Yakub dan kau beritakan kepada orang Israel: …, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku … bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel.” Keluaran 19:3-6.
Perhatikan bagaimana Tuhan meminta Musa menyampaikan perjanjian-Nya kepada bangsa Israel. Inilah semua elemen dari perjanjian yang benar. Persyaratan dan janji-janji dinyatakan ke dua pihak. Jika bangsa Israel menerima proposal Tuhan, sebuah perjanjian akan dibuat. Bagaimana mereka merespon tawaran ilahi? “Lalu datanglah Musa dan memanggil para tua-tua bangsa itu dan membawa ke depan mereka segala firman yang diperintahkan TUHAN kepadanya. Seluruh bangsa itu menjawab bersama-sama: “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan.” Lalu Musapun menyampaikan jawab bangsa itu kepada TUHAN.” Keluaran 19:78.
Segera setelah jawaban tersebut disampaikan kepada Tuhan, dasar dari Perjanjian Lama didirikan. Tapi sebelum perjanjian tersebut dijalankan, harus ada meterai atau pengesahan perjanjian. Ritual ini mencakup pemercikan darah dari seekor lembu ke atas orang Israel yang dijelaskan dalam Keluaran 24:4-8: “Lalu Musa menuliskan segala firman TUHAN itu. Keesokan harinya pagi-pagi didirikannyalah mezbah di kaki gunung itu, dengan dua belas tugu sesuai dengan kedua belas suku Israel.  Kemudian disuruhnyalah orang-orang muda dari bangsa Israel, … menyembelih lembu-lembu jantan sebagai korban keselamatan kepada TUHAN. Sesudah itu Musa mengambil sebagian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu, sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah itu.  Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.” Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.”
Kembali kita diingatkan bahwa perjanjian ini bukanlah hukum itu sendiri tetapi dibuat “berdasarkan segala firman ini.” Sepuluh Hukum adalah dasar dari perjanjian. Orang Israel setuju untuk mematuhi hukum, dan Tuhan berjanji untuk memberkati mereka sebagai upahnya. Kelemahan utama dari seluruh perjanjian adalah bagaimana cara orang Israel berjanji. Tidak ada pernyataan bahwa mereka tidak dapat memenuhi seutuhnya setiap persyaratan yang Tuhan berikan. Juga tidak ada permohonan untuk bantuan ilahi. “Kami dapat melakukannya,” mereka bersikeras. Inilah contoh mengandalkan kedagingan dan percaya kepada kekuatan manusia. Perkataan mereka penuh dengan kepercayaan diri. “Segala firman yang telah diucapkan Tuhan itu, akan kami lakukan.”
Apakah mereka dapat memenuhi janjinya? Meskipun mereka berulang-ulang meyakinkan, mereka secara sembrono melanggar janjinya sebelum Musa seharusnya turun dari gunung dengan dua loh batu. Apakah kita mulai dapat melihat janji bercacat yang terdapat dalam Perjanjian Lama?
Buku Ibrani mulai mengungkapkan. Tuhan digambarkan “menegor mereka.” Ibrani 8:8. Ia berkata, “Sebab mereka tidak setia kepada perjanjian-Ku … Aku menolak mereka.” Ayat 9. Tuduhan terletak seutuhnya pada pihak manusia sebagai bagian dari perjanjian yang saling menguntungkan. Karena itu, kita dapat melihat dengan jelas mengapa Paulus menulis sebagaimana yang dia tuliskan mengenai Perjanjian Lama dalam Ibrani 8. Memang menimbulkan perbudakan, terbukti salah, memiliki janji yang bercacat, dan dihapuskan – semua terjadi karena orang Israel gagal untuk melakukan peran mereka sebagai syarat dari perjanjian. Bila kita kaitkan semuanya, kita dapat melihat mengapa sebuah perjanjian baru sangat dibutuhkan, yang akan memiliki janji yang lebih baik.

Bagaimana Perjanjian Baru memiliki janji-janji yang lebih baik? Karena Tuhan yang membuatnya, dan mereka menjamin penurutan sepenuhnya melalui kekuatan-Nya saja. “Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka … Aku akan menjadi Allah mereka … Aku akan menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka.” Ibrani 8:10-12.
Bagaimana Perjanjian yang Baru disahkan? Dengan cara yang sama sebagaimana yang Lama disahkan – dengan tertumpahnya darah. Tapi gantinya seekor lembu mencurahkan darahnya, Anak Allah yang tidak berdosa akan menyediakan darah untuk dipercikkan: “Maka Allah damai sejahtera, yang oleh darah perjanjian yang kekal telah membawa kembali dari antara orang mati Gembala Agung segala domba, yaitu Yesus, Tuhan kita, kiranya memperlengkapi kamu dengan segala yang baik untuk melakukan kehendak-Nya, dan mengerjakan di dalam kita apa yang berkenan kepada-Nya, oleh Yesus Kristus.” Ibrani 13:2021.

Betapa sebuah kontras dibandingkan dengan janji manusia bercacat yang dibuat oleh bangsa Israel di Gunung Sinai. Gantinya pernyataan “kami akan lakukan,” Perjanjian Baru kepunyaan Tuhan adalah untuk “memperlengkapi kamu dengan segala yang baik … mengerjakan di dalam kamu.” Sekarang bukan lagi usaha manusia. Bukan lagi kita yang bekerja, tapi Ia “mengerjakan di dalam kita.” Dan bagaimana kekuatan ini berasal? “Melalui darah perjanjian yang kekal.” Karena apa yang Yesus telah lakukan di kayu salib.

 

Perjanjian Baru Berdasarkan Perubahan

Kita tiba pada inti bagaimana Perjanjian Baru bisa dilakukan. Penurutan menjadi mungkin dengan dituliskannya hukum Allah dalam hati kita. Melalui kelahiran kembali secara rohani, akal budi dan hati diubahkan. Kristus sebenarnya masuk dalam kehidupan umat percaya dan memberikan kekuatan-Nya untuk menurut. Dengan mengambil bagian sifat keilahian, manusia yang paling lemah mulai menghidupkan kehidupan yesus Kristus, mendapatkan kemenangan-Nya, dan menyalibkan kedagingan.
Paulus menggambarkan prosesnya seperti ini: “Sebab apa yang tidak mungkin dilakukan hukum Taurat karena tak berdaya oleh daging, telah dilakukan oleh Allah. Dengan jalan mengutus Anak-Nya sendiri dalam daging, yang serupa dengan daging yang dikuasai dosa karena dosa, Ia telah menjatuhkan hukuman atas dosa di dalam daging, supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh.” Roma 8:34.
Kata untuk kebenaran adalah “dikaima”, artinya “hanya tuntutan” hukum. Dengan kata lain, karena kehidupan Yesus yang tidak berdosa ketika Ia menjadi manusia, tuntutan hukum dapat dipenuhi di dalam kita. Ia mengalahkan dosa dengan tubuh yang sama dengan kita, sehingga Ia dapat memberikan kemenangan. Ia sebenarnya dapat menghidupkan kehidupan-Nya yang kudus yang terpisah dari dosa dalam tubuh fana kita jika kita mengizinkan-Nya untuk melakukannya. Inilah janji Perjanjian yang Baru untuk setiap orang yang percaya, mempercayai Anak Allah. Dan pastinya ini adalah satu-satunya jalan dimana setiap setiap orang dapat memenuhi tuntutan hukum: “Kristus ada di tengah-tengah kamu, Kristus yang adalah pengharapan akan kemuliaan!” Kolose 1:27. “Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Galatia 2:20.
Sangat penting bagi kita untuk memahami bahwa Perjanjian Baru yang dituliskan dalam hati adalah hukum yang sama persis yang dituliskan pada loh batu. Prinsip rohani agung tersebut mencerminkan karakter Tuhan, dan membentuk dasar pemerintahan-Nya. Perbedaannya bukan terletak pada hukum tapi pada pemberi bantuan hukum. Ditulis hanya di atas loh batu, hukum hanya dapat menghukum dan mengakibatkan kematian, “Sebab keinginan daging … tidak takluk kepada hukum Allah.” Roma 8:7. Diterima dalam hati yang telah diubahkan oleh kasih karunia Kristus yang mengubahkan, hukum yang sama menjadi kesukaan. Yohanes Kekasih menyatakan, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat.” 1 Yohanes 5:3. Bukan hanya hukum tidak berat bagi anak Allah yang dipenuhi Roh, tapi penurutan menjadi sebuah kemungkinan yang menggembirakan. Pemazmur menuliskan, “Aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku.” Mazmur 40:8.

 

Tidak Ada Perubahan Dalam Perjanjian Baru Setelah Kalvari
Karena Perjanjian Baru disahkan oleh darah Kristus, pasti tidak akan dapat berlaku sampai setelah Yesus mati di salib. Fakta penting ini tidak boleh diabaikan. Kehidupan atau kematian kekal dapat bergantung pada pemahaman yang jelas atas fakta penting ini. Paulus menulis, “Sebab di mana ada wasiat, di situ harus diberitahukan tentang kematian pembuat wasiat itu. Karena suatu wasiat barulah sah, kalau pembuat wasiat itu telah mati, sebab ia tidak berlaku, selama pembuat wasiat itu masih hidup.” Ibrani 9:1617. Kata “perjanjian” sama artinya dengan kata “wasiat”. Hanya setelah keinginan terakhir manusia dan wasiat disahkan oleh kematiannya, maka wasiat bisa dibagikan. Dengan cara yang sama, perjanjian atau warisan Kristus akan dapat berlaku segera setelah Ia mensahkan perjanjian dengan kematian-Nya di Kalvari.
Ayat yang lain memberikan kita penjelasan mengenai topik ini: “Saudara-saudara, baiklah kupergunakan suatu contoh dari hidup sehari-hari. Suatu wasiat yang telah disahkan, sekalipun ia dari manusia, tidak dapat dibatalkan atau ditambahi oleh seorangpun.” Galatia 3:15. Maksud Paulus adalah bahwa setelah seseorang meninggal, warisan atau perjanjiannya tidak dapat dirubah. Tidak satu tambahan apapun yang dapat dibuat setelah kematian pewaris. Perjanjian akan terus sama selamanya ketika pewaris meninggal. Setelah kematian Kristus, tidak ada suatu perubahanpun yang dapat dibuat dalam perjanjian-Nya untuk menyelamatkan manusia. Persyaratan telah disahkan dan dimeteraikan oleh darah yang telah tercurah. Setiap persyaratan telah diberikan dengan jelas oleh contoh sempurna dari kehidupan-Nya yang tidak berdosa dan kekuatan telah diberikan untuk penurutan hukum-Nya, melalui Roh Kudus, ke atas setiap umat percaya.
Di bawah istilah Perjanjian Baru tidak seorangpun yang akan ditinggalkan berjuang tanpa pertolongan melawan kuasa keinginan berdosa. “Di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.” Roma 5:20. Perjanjian kekal berakar pada karakter Allah yang tidak pernah berubah yang akan memberikan kuasa untuk mengalahkan setiap kelemahan yang diwariskan dan dipupuk. Tidak heran Alkitab menekankan “janji yang lebih baik” dari perjanjian baru yang mulia ini!

Sekarang kita mudah memahami beberapa hal yang Yesus lakukan sebelum Ia meninggal. Contohnya, mengapa Ia membuat Perjamuan Terakhir sebelum Ia mati di salib? Pada hari Kamis malam sebelum kematian-Nya yang menderita di hari Jumat, Yesus berkumpul dengan murid-murid-Nya di ruang atas. Ia memegang cawan di tangan-Nya dan berkata, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.” Matius 26:28.
Bukankah mengherankan bahwa Kristus mengucapkan perkataan tersebut sebelum darah-Nya tercurah? Ia membuat sebuah peringatan untuk sebuah peristiwa yang belum terjadi! Mengapa? Karena harus diberitahukan sebelum kematian-Nya sehingga berlaku di bawah Perjanjian Baru. Tidak ada yang bisa ditambahkan setelah kematian-Nya.
Sekarang, kita akan kembali ke cerita yang saya mulai ceritakan di awal buku. Saya baru selesai berkhotbah tentang hari Sabat pada suatu KKR. Sementara saya turun dari podium  untuk menyalami orang-orang sebelum mereka pulang, tiga orang muda menghalangi langkah saya di lorong. Salah seorang dari mereka berkata kepada saya dengan suara yang cukup keras – cukup keras untuk membuat sekitar 50 orang di dekat auditorium berhenti untuk mendengarkan.

 

“Saudara Joe,” katanya, “Malam ini kami kecewa dengan cara anda membawa kami kembali di bawah Perjanjian Lama. Apakah anda sadar bahwa kita sekarang ini hidup di bawah Perjanjian Baru dan harus menyucikan hari Minggu gantinya hari Sabat?
Meskipun kebanyakan jemaat mulai meninggalkan gedung, kelompok yang dekat dari depan berkumpul mendekat untuk mendengarkan semua yang diucapkan ketiga orang muda tersebut. Sudah jelas bahwa saya harus mengambil waktu untuk menjawab pertanyaan menantang mereka. Seperti yang saya duga mereka adalah anggota seminari muda yang sedang mengikuti pelatihan di kampus Alkitab lokal. Dengan tidak sabar mereka memegang Alkitab di tangan mereka dan dengan penuh kemenangan menunggu saya untuk menjawab.

Biasanya, saya tidak suka berdebat hal kontroversi di depan publik, karena tidak mau mengakibatkan pertikaian, tapi sepertinya tidak ada cara untuk menghindari para murid seminari ini. Lagipula, mereka benar-benar menghalangi jalan saya, dan sekumpulan pendengar melihat saya dengan penuh harap untuk sebuah penjelasan.
“Sepertinya kalian telah mempelajari topik perjanjian ini secara mendalam,” kata saya.

“Ya, betul,” kata mereka setuju, “kami tahu tentang semua perjanjian.”
“Bagus,” jawab saya. “Kalian pasti tahu ketika Perjanjian Lama didirikan.” Salah satu dari mereka menjawab dengan cepat, “Dimulai di Gunung Sinai.”
“Dan bagaimana perjanjian disahkan?” tanya saya. Tanpa keragu-raguan sedikitpun salah satu dari mereka menjawab, “Dengan percikan darah seekor lembu.”

“Bagus sekali,” komentar saya, “dan bagaimana Perjanjian Baru disahkan?” Mereka bertiga menjawab serempak, “Dengan darah Yesus di kayu salib.”

Saya memberikan komentar atas pengetahuan mereka tentang Alkitab dan meminta mereka untuk membacakan dua ayat dari Alkitab mereka – Ibrani 9:1617 dan Galatia 3:15. Mereka menyambut segera permintaan saya, dan membacakan ayatnya, mengomentari setiap ayat setelah selesai dibacakan. “Kami setuju bahwa Perjanjian Baru tidak berlaku sampai setelah kematian Kristus, dan tidak ada sesuatupun yang bisa ditambahkan atau dikurangi setelah Dia mensahkannya di kayu salib,” juru bicara dari antara mereka bertiga menambahkan. Mereka bertiga menganggukkan kepala mereka dengan tegas untuk hal ini.

Saya berkata, “Sekarang kamu harus menjawab dua pertanyaan lagi untuk saya. Ini adalah pertanyaan pertama dan kamu harus berpikir dengan seksama untuk memberikan jawaban yang tepat: Kapan pemeliharaan hari Minggu dimulai?” Mereka terkejut dan terdiam beberapa waktu, dan terdiam, dan terdiam. Mereka saling memandang satu sama lain, lalu menunduk, dan akhirnya kembali melihat saya. Dengan lembut saya mendesak mereka untuk menjawab, “Pasti kalian dapat mengatakan jawabannya kepada saya. Kalian sudah mengetahui yang lainnya, dan telah menjawab dengan tepat. Menurut pendapat kalian, kapan dan mengapa orang-orang mulai menyucikan hari Minggu”
Akhirnya, salah satu dari mereka berkata, “Kami menyucikan hari Minggu untuk menghormati kebangkitan Yesus.” Saya berkata, “Maka saya harus menanyakan pertanyaan terakhir. Bagaimana perbaktian hari Minggu menjadi bagian dari Perjanjian Baru? Kalian baru saja menyatakan bahwa tidak ada yang bisa ditambahkan setelah kematian Kristus. Ia mati pada hari Jumat dan dibangkitkan pada hari Minggu. Jika hari Minggu ditambahkan setelah Yesus mati, apakah itu bisa menjadi bagian dari Perjanjian Baru, benarkah?”
Mereka bertiga mulai melangkahkan kakinya, melihat sekeliling dengan tidak berdaya, dan salah satu dari mereka berkata, “kami akan mempelajarinya dan memberitahu anda nanti.” Kemudian mereka berlari dari auditorium secepat mungkin. Saya bisa menjamin bahwa mereka tidak pernah kembali untuk membicarakan lebih lanjut mengenai perjanjian.
Kenyataannya adalah pemeliharaan hari Minggu, meskipun jika telah dimulai pada hari kebangkitan Yesus, telah terlambat tiga hari untuk masuk sebagai bagian dari Perjanjian Baru. Alkitab dan sejarah membuktikan bahwa hari Minggu tidak pernah disucikan oleh gereja pada zaman para rasul. Hari Minggu disucikan jauh di kemudian hari sebagai hasil kemurtadan bertahap yang berkembang pada abad awal gereja dan memuncak untuk mengakomodasi penyembahan berhala Kaisar Konstantin pada tahun 330.
Berjuta-juta anggota gereja modern menganggap hari Minggu sebagai hari yang kudus untuk memperingati kebangkitan Kristus. Memang betul bahwa Kristus bangkit pada hari pertama minggu itu, tapi tidak ada dalam Alkitab yang memerintahkan hari itu dikuduskan. Peristiwa penyaliban dan kebangkitan Yesus harus memiliki makna yang dalam bagi setiap orang Kristen, tapi tidak ada satu contoh pun diberikan dalam Alkitab untuk menguduskan hari Jumat atau hari Minggu. Satu-satunya hari yang diperintahkan dalam perbaktian sepanjang minggu adalah hari ketujuh – Sabat yang sama yang Yesus kuduskan selama minggu penciptaan dan akan terus dikuduskan bersama umat-Nya hingga selama-lamanya. Kejadian 2:1-3Yesaya 66:2223.

 

Alasan yang paling kuat untuk menolak perbaktian pada hari Minggu adalah karena tidak termasuk dalam persyaratan Perjanjian Baru yang dimeteraikan oleh kematian Yesus. Jika Kristus Kristus menginginkan kebangkitan-Nya untuk diperingati dengan menguduskan hari Minggu, Ia dapat memperkenalkannya pada Kamis malam pada Perjamuan Akhir. Sehingga akan menjadi bagian dari Perjanjian Baru, bersama dengan perjamuan kudus dan pembasuhan kaki. Yesus tidak akan ragu-ragu untuk memerintahkan pengudusan hari kematian-Nya, meskipun belum terjadi. Sama mudahnya Ia dapat memerintahkan hari kebangkitan-Nya, yang masih di masa depan, untuk menjadi bagian dari persyaratan Perjanjian Baru. Tapi Ia tidak melakukannya! Dan tidak seorangpun yang melakukannya, sampai akhirnya nubuatan Paulus mulai digenapi yaitu mengenai kemurtadan setelah kematiannya. Kisah 20:2930. Dia juga berbicara tentang kemurtadan yang akan memimpin kepada kekuasaan Antikristus. 2 Tesalonika 2:34. Tapi benar bahwa tidak ada petunjuk untuk perubahan apapun mengenai hukum yang diberikan di dalam Alkitab. Hukum moral yang tidak berubah terus dijaga baik di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai pernyataan sempurna dari kehendak Allah.

 

Ismael dan Ishak Melambangkan Dua Perjanjian
Dengan latar belakang ini, kita sekarang siap untuk menggali Galatia 4. Banyak yang bingung mengenai perumpamaan yang Paulus gunakan untuk mengilustrasikan Perjanjian Lama dan Baru. Beginilah cara Paulus menuliskannya: “Bukankah ada tertulis, bahwa Abraham mempunyai dua anak, seorang dari perempuan yang menjadi hambanya dan seorang dari perempuan yang merdeka? Tetapi anak dari perempuan yang menjadi hambanya itu diperanakkan menurut daging dan anak dari perempuan yang merdeka itu oleh karena janji. Ini adalah suatu kiasan. Sebab kedua perempuan itu adalah dua ketentuan Allah: yang satu berasal dari gunung Sinai dan melahirkan anak-anak perhambaan, itulah Hagar– Hagar ialah gunung Sinai di tanah Arab–dan ia sama dengan Yerusalem yang sekarang, karena ia hidup dalam perhambaan dengan anak-anaknya.” Ayat 22-25.
Paulus menggambarkan Ishak dan Ismael, dua anak Abraham, melambangkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Secara sederhana dia menggambarkan bahwa anak Hagar, Ismael melambangkan Perjanjian Lama, dan anak Sarah, Ishak, adalah lambang dari Perjanjian Baru. “Dan kamu, saudara-saudara, kamu saama seperti Ishak adalah anak-anak janji. … karena itu, saudara-saudara, kita bukanlah anak-anak hamba perempuan, melainkan anak-anak perempuan merdeka.” Ayat 28-31.
Menarik. Bagaimana mungkin dua anak dari dua perempuan melambangkan dua perjanjian? Sebenarnya, mereka adalah ilustrasi sempurna berdasarkan segala sesuatu yang kita telah pelajari sejauh ini. Tuhan telah menjanjikan seorang anak kepada Abraham melalui istrinya Sarah; tetapi karena Sarah berusia hampir 90 tahun, tidak satupun dari mereka yang percaya hal itu bisa terjadi. Sarah tahu bahwa dia mandul dan umurnya sudah melewati batas untuk melahirkan. Jadi dia menyarankan suaminya untuk mengambil Hagar, hambanya, untuk melahirkan seorang anak baginya. Sepertinya itulah satu-satunya cara untuk membantu Tuhan untuk menepati janji yang mustahil. Akhirnya, Abraham menyerah pada rencana itu dan memiliki seorang anak dari Hagar.

Ini adalah gambaran tepat untuk prinsip Perjanjian Lama “kami akan melakukannya”. Abraham berusaha untuk menyelesaikan dengan kekuatannya sendiri, berdasarkan usaha dan rencana manusia. Rencana lama gagal sama seperti janji Perjanjian Lama gagal, tidak ada kebergantungan terhadap kuasa ilahi. Allah tidak pernah mengakui Ismael sebagai anak yang dijanjikan.

Ketika Ishak lahir, itu adalah sebuah mukjizat. Tuhan sebenarnya menciptakan sebuah kehidupan baru dari rahim yang secara biologis mandul. Kemustahilan secara fisik tunduk kepada kuasa supernatural dan kreatif dari Tuhan. Ishak secara sempurna melambangkan prinsip hubungan Perjanjian Baru berdasarkan regenerasi, pengalaman lahir-baru, yang memberikan kehidupan Anak Allah kepada semua yang percaya. Rahim jasmani Sarah sebenarnya tidak dapat melahirkan seorang anakpun. Dengan cara yang sama, tubuh dan pikiran jasmani orang yang berdosa tidak dapat menghasilkan buah penurutan. Ketika Tuhan menggunakan kuasaNya untuk menciptakan sebuah kehidupan baru pada Sarah, hal yang tidak mungkin terjadi, dan dia melahirkan seorang anak. Ketika Tuhan menggunakan kuasaNya untuk menciptakan kehidupan baru di dalam jiwa, hal yang tidak mungkin terjadi lagi – seorang manusia menjadi rohani dan menurut.
Ishak tidak “diperanakkan menurut daging” tapi “menurut Roh”. ” Galatia 4:29.  Karena manusia adalah lahiriah dan “lemah secara lahiriah”, maka tidak memiliki kuasa untuk mendapat kebenaran dalam hukum. Dia juga harus dilahirkan menurut Roh. Setiap usaha untuk menuruti Perjanjian Lama berdasarkan usaha manusia hanya akan menghasilkan anak-anak perbudakan. Hukum harus ditulis dalam hati oleh Roh Kudus dan digenapi oleh “Kristus di dalam kamu”.

Perumpamaan Hagar dan Sarah menjelaskan poin terpenting lainnya mengenai kebenaran. Mereka yang berada di bawah Perjanjian Lama adalah mereka yang melanggar hukum, dan mereka yang berada di bawah Perjanjian Baru adalah mereka yang mematuhi Perjanjian. Hanya ketika Abraham tidak mematuhi Allah dengan mengambil Hagar maka dia menggenapi prinsip Perjanjian Lama. Ketika dia percaya bahwa Allah dapat memberikannya seorang anak melalui Sarah, dia menurut kehendak Allah, dan melambangkan umat Kristen Perjanjian Baru. Tapi betapa sering para penafsir modern bingung dengan fakta ini! Seperti tiga orang pengkhotbah muda, mereka menuduh penurut-hukum di bawah Perjanjian Lama. Kebenarannya sangat bertolak belakang. Hukum tidak benar-benar dipatuhi sampai dituliskan dalam hati umat percaya yang diubahkan. Maka itu menjadi tanda identifikasi – simbol kasih – untuk mereka yang berada di bawah Roh. Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” .” Yohanes 14:15. Yohanes menuliskan, “Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya.” 1 Yohanes 5:3.

 

Sunat yang Sejati Bukan Secara Lahiriah
Apakah anda pernah bertanya mengapa Allah memberikan sunat kepada Abraham sebagai sebuah simbol Perjanjian Lama? Bukankah sepertinya cara yang sederhana untuk melambangkan sebuah perjanjian yang penting? Pikirkan sejenak dan mungkin akan mulai masuk akal. Allah memberikan Abraham simbol sunat untuk mengingatkannya bagaimana ia gagal jika percaya kedagingan. Paulus menuslikan, “Karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah.” Filipi 3:3.

Paulus membandingkan sunat sejati dengan “yang disebut sebagai sunat”. Daging yang dipotong sama sekali bukanlah sunat yang sejati: “Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.” Roma 2:28,29. Perhatikan bagaimana Paulus berbalik dari  lahiriah kepada rohani. Dia berkata bahwa sunat yang sejati terjadi di dalam hati, dan meninggikan apa yang Allah lakukan, dan bukan meninggikan manusia. Yaitu sunat sifat kedagingan melalui perubahan. Lahir baru adalah pengalaman sunat yang sejati.
Penjelasan yang paling tepat ditemukan dalam surat Paulus kepada jemaat di Kolose: “Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa.” Kolose 2:11.

Karya Kristus secara rohani dalam hati inilah yang disebut sunat. Dilakukan tanpa tangan, bermakna bahwa tidak ada usaha manusia yang dapat melakukan tindakan ini. Bukan memotong daging lahiriah, tapi memotong sifat alami dosa melalui Kristus yang tinggal dalam kita. Semua akan dimampukan dengan prinsip yang sama: “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.” Galatia 3:29. Semua yang menerima Kristus menjadi ahli waris dari janji yang dibuat kepada Abraham. Mereka yang mengalami sunat hati yang sejati menjadi orang Yahudi yang sebenarnya.

Tidak seorangpun yang dapat sombong karena menjadi bagian keluarga yang benar secara lahiriah. Tidak ada lagi Yahudi atau bukan Yahudi, laki-laki atau perempuan. Penerimaan berdasarkan iman pribadi kepada Yesus Kristus sebagai Juruselamat. Tidak seorangpun dapat menuntut pertolongan khusus karena memotong kulit khatan lahiriah. Hal itu dilakukan oleh orang-orang yang mendasarkan segala sesuatu “kami akan melakukannya”. Mereka mencari pembenaran dan keselamatan melalui usaha manusia. Rencana Allah yang baru melalui Kristus bukan karena usaha, tapi karena kasih karunia melalui iman.

Apakah berarti bahwa usaha tidak lagi penting? Karena hukum tidak membenarkan, apakah harus dihapuskan oleh umat percaya? Doktrin perjanjian didirikan di luar keragu-raguan bahwa hukum sama pentingnya baik di bawah Yang Baru ataupun Yang Lama. Gantinya ditulis di atas loh batu, dituliskan dalam hati. Gantinya dipenuhi oleh kita, dipenuhi oleh Yesus dalam kita. Gantinya menuruti hukum supaya kita selamat, kita menurutinya karena kita sudah diselamatkan. Penurutan yang sama masih berlaku, tapi dengan alasan dan motif yang berbeda.

Kadang-kadang, tanpa menyadarinya, kita mulai mempercayai ritual agama tradisional lebih dari seharusnya kita lakukan. Tidak ada sistem kebaikan yang dapat menghalangi aliran iman, kasih dan karunia yang cuma-cuma. Penurutan dalam posisinya yang benar penting dan perlu, tapi harus dalam posisi yang sama – mengikuti pengasihan dan diikuti oleh kasih.

Kenyataannya, kita bisa menaruh diri kita di bawah Perjanjian Lama hingga hari ini jika kita mulai percaya kepada usaha kita untuk menyelamatkan diri. Sama seperti orang-orang kudus zaman dahulu dapat menerima sunat sejati dengan menerima regenerasi rohani, kita bisa kembali mundur di bawah Perjanjian lama dengan mempercayai lahiriah kita untuk menyelamatkan diri.

 

 


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *