Perhentian

HAUS AKAN HARI PERHENTIAN

Belajar Alkitab
Mari bagikan artikel ini

Sebuah artikel yang tajam dan mendalam dalam The University News, surat kabar mahasiswa dari University of Dallas, “sebuah lembaga Katolik yang menerima mahasiswa-mahasiswa dari semua keyakinan,” berbicara tentang betapa sulitnya untuk menemukan pencarian manusia dalam hal kepuasan. Penulis, Larisa Tuttle, mengutip mengutip salah satu pernyataan dari Rm. Thomas Dubay, S.M., yang menulis bahwa “setiap pilihan yang Anda buat sepanjang hari adalah bukti bahwa apa yang Anda cari, yang menjadi gairah Anda, Anda inginkan, kekurangan Anda. Tidak ada yang pernah cukup.”

Kemudian Tuttle menguraikan bahwa Setan memanfaatkan “rasa haus” untuk rasa kepenuhan ini, seperti yang dijelaskan Dubay, dengan mengarahkan orang-orang kepada “hal-hal yang sifatnya sementara” yang pada akhirnya tidak dapat memuaskan kerinduan terdalam itu.  Gagasan ini mencerminkan apa yang diungkapkan Raja Salomo ribuan tahun yang lalu: “mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar” (Pengkhotbah 1:8). Ini adalah sebuah ayat yang ditulis oleh seorang pria yang memiliki segala sesuatu yang dapat ditawarkan dunia, namun demikian dia masih merasa belum puas. Bahkan, ia menyebut semua harta benda dan pencapaiannya sebagai “kesia-siaan” (ayat.2),  dari bahasa Ibrani hebel, yang berarti “uap,” atau “nafas.” Tuttle melanjutkan dengan meratapi bahwa dalam pencarian kita untuk mencapai kepenuhan itu, kita “lupa bahwa kita diciptakan untuk beristirahat,” suatu tindakan yang cenderung “ditolak” oleh para mahasiswa. Dia melanjutkan: “Meskipun adalah mulia untuk haus akan keunggulan di bidang akademik dan semua kebaikan yang ditawarkan oleh perguruan tinggi, ada godaan untuk membuat perencanaan kita ke altar. Kita mengorbankan keseimbangan dalam hidup yang mencakup tidur, nutrisi, dan rekreasi yang sesungguhnya demi bisa melakukan kegiatan sebanyak mungkin dan kemungkinan untuk memperoleh nilai yang sempurna.”

Solusinya, dia menyimpulkan, adalah dengan memelihara hari Sabat, “suatu latihan untuk pesta pernikahan kita yang abadi.” Artinya, menggunakan citra gereja sebagai mempelai Kristus, sebuah metafora yang ditemukan di seluruh Alkitab (Yesaya 54:5; 62:5; Efesus 5:25–27; Wahyu 19:7–9), Tuttle dibesarkan oleh gagasan tentang hari Sabat sebagai pengenalan tentang surga, suatu perhentian yang akan kita miliki di langit dan bumi yang baru (Wahyu 21:1).

Kebenaran Bercampur dengan Kesalahan

Ada banyak kebenaran dalam karya Tuttle. Namun, ada dua masalah besar yang timbul yang terkait langsung satu sama lain.

Pertama, Tuttle menunjukkan perhentian Sabat sebagai “perintah ketiga.” Bukankah memelihara Sabat, seperti yang diberikan Allah di Gunung Sinai—dan ditulis dengan jari-Nya sendiri (Keluaran 31:18)—adalah perintah keempat? Jelas dinyatakan, “Enam hari kamu akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu. Di dalamnya kamu tidak boleh melakukan pekerjaan” (20:9, 10). Perintah ketiga sebenarnya adalah “jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan” (ayat 7).

Kedua, hari Sabat, menurut Tuttle, adalah hari ini dalam seminggu: “Di lembah air mata ini, Yesus memberi kita pemenuhan dan istirahat setiap hari Minggu. Meskipun Misa Minggu adalah puncak dari seluruh minggu kita, Tuhan menginginkan agar setiap saat di hari Minggu menarik kita ke dalam persekutuan yang tenang dengan-Nya.”

Perintah Sabat cukup spesifik: “Hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu” (penekanan ditambahkan). Hari ketujuh adalah Sabtu (Jumat matahari terbenam sampai Sabtu matahari terbenam), bukan hari Minggu. Anda dapat mempelajari semua tentang fakta ini dari artikel gratis kami “Hari Apa dalam Seminggu Adalah Sabat?”

Dengan kata lain, Tuttle salah mengartikan hari dan nomor perintah. Terus? Yang penting adalah memahami maknanya dengan benar; semua detail lainnya hanyalah semantik—bukan?

Perubahan Besar, Konsekuensi Besar

Jika itu hanya semantik (pengertian kata), lalu mengapa Tuhan membedakan satu hari dari tujuh dalam perintah-Nya? Tuhan pasti menganggap hari ketujuh itu penting. Dan memang, Dia melakukannya. Hari ketujuh adalah hari ketika Tuhan selesai menciptakan dunia: “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia beristirahat pada hari ketujuh. Karena itu TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Keluaran 20:11). Hari ketujuh, Sabat,  adalah hari untuk memperingati Penciptaan. Itu adalah bukti dari kuasa Allah untuk mencipta —dan itu termasuk kuasa untuk melakukan penciptaan ulang untuk memberi Anda kehidupan kekal dan menyelamatkan Anda dari kematian kekal.

Cukuplah untuk mengatakan bahwa Sabat adalah hari yang penting.

Dan kemudian ada nubuatan singkat namun memiliki kuasa yang terdapat dalam di dalam Perjanjian Lama: “Dan dia akan mengucapkan kata-kata menentang Yang Maha tinggi, dan akan melemahkan orang-orang kudus milik Yang Maha tinggi; dan dia akan berpikir untuk mengubah waktu dan hukum” (Daniel 7:25, penekanan ditambahkan). Menurut Daniel, kekuatan yang muncul untuk “melawan Yang Maha tinggi”, yaitu Allah, adalah “binatang” (ay.7), simbol dari “kerajaan di bumi” (ay.23). Jadi musuh Tuhan ini adalah kekuatan politik duniawi yang akan berusaha untuk mengubah “waktu” Tuhan dan “hukum-Nya.” Cara lain untuk melihat hal ini adalah perubahan pada hari Tuhan, “waktu-Nya,” dan jumlah perintah-Nya, “hukum-Nya.” Dalam penggenapan yang menakjubkan dari nubuatan Alkitab, sejarah menunjukkan bahwa inilah tepatnya yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma. Bukti tersedia bagi siapa saja yang ingin mengetahui kebenaran. Coba mulai dengan sumber daya gratis kami “Di Mana Bukti Bahwa Sabat Telah Diubah?”

Kita berbicara tentang Sepuluh Perintah, hukum Allah—standar ilahi untuk benar dan salah, baik dan jahat. Faktanya, hukum ini menjelaskan apa itu dosa: “Barangsiapa berbuat dosa, ia juga melakukan pelanggaran hukum, dan dosa adalah pelanggaran hukum” (1 Yohanes 3:4). Jadi jika Anda mengubah hukum, Anda mengubah definisi dosa—yang memiliki konsekuensi kekal yang menghancurkan (Roma 6:23).

Inilah intinya: Pastikan Anda tahu di sumur mana Anda minum — karena ada satu sumur di luar sana yang dipenuhi pasir apung. Pastikan Anda memuaskan dahaga Anda dengan Air Kehidupan yang sesungguhnya (Yohanes 4:14).

Artikel ini ditulis oleh Clifford Goldstein


Mari bagikan artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *